Selasa 23 Jan 2018 16:45 WIB
Belajar Kitab

Apa Maksud di Balik Larangan itu?

Keseluruhannya menyangkut etika dan norma hidup sehari-hari.

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Hadist (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Hadist (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Melalui karyanya yang berjudul al-Manhiyyat, tokoh yang bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin al-Husain bin Basyar al-Hakim at-Tirmidzi itu berusaha menguraikan pesan yang terkandung di balik larangan ataupun anjuran- anjuran yang pernah disampaikan oleh Rasulullah.

(Baca: Menguak Hikmah di Balik Larangan)

Dari total 170 hadis yang ia uraikan, tokoh yang memutuskan terjun di dunia tasawuf saat berusia 27 tahun itu, menitikberatkan pada hadis-hadis adab. Keseluruhannya menyangkut etika dan norma hidup sehari-hari.

Hadis yang pertama kali ia uraikan ialah menyangkut tata cara berbusana yang baik. Di antaranya ialah hadis riwayat Bukhari Muslim dan sejumlah imam hadis lainnya mengenai larangan memakai baju (jubah atau gamis—Red) dengan posisi duduk sedang kan kedua pahanya terlihat. Cara seperti ini dilakukan de ngan bajunya terlipat separuh.

Apa maksud di balik larang an itu?

Menurut ulama yang belajar hadis di Nisaphur pada 285 H itu, mengenakan pakaian dengan cara demikian akan memudahkan aurat tampak. Apalagi, bila yang ber sangkutan tidak memakai pa kaian dalam. Pada masa-masa awal Islam hadir di tengah-tengah masya rakat jahi liah, mereka belum terbiasa menutup aurat, bahkan ketika melaksanakan thawaf di Ka’bah sekalipun. Aurat me reka terlihat.

Maka, saat Islam datang, bangsa Arab diperintahkan untuk menutup aurat mereka sebisa mungkin dan menjaga pandangan agar tidak melihat aurat orang lain. “Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya.” (QS an-Nuur [24] 31). La rangan yang tersebut dalam hadis di atas, pada dasarnya ialah bentuk pendisiplinan kepada mereka.

Al-Hakim at-Tirmidzi juga menyebutkan pesan yang ada di balik larangan kencing dengan posisi berdiri. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah, Rasulullah menegaskan hal itu. Menurut analisis al-Hakim, ada dua motif pelarangan ter sebut. Alasan pertama, posisi berdiri saat kencing rawan ter kena percikan air seni. Se dang kan, najis yang diakibat kan oleh kelalaian saat buang air kecil tersebut, bisa berujung pada siksa di alam kubur.

Riwayat lain yang dinukil oleh Thabrani dan al-Bazzar menjelaskan peringatan tersebut. Rasulullah bersabda, “Pastikanlah kalian bersih dari (najis) air seni, karena sesungguhnya sebagian besar azab kubur akibat (najis) air seni.” Karenanya, Rasulullah di riwayat lainnya menganjurkan agar kencing sambil duduk.

Sedangkan motif yang kedua dari larangan kencing berdiri ialah berkenaan dengan kesehatan yang bersangkutan. Menurut tokoh yang terusir dari Tirmidz lalu pindah ke Balkh lantaran menulis kitab yang dianggap kontroversial: Khatmul Awliyahdan ‘Ilal asy- Syari’at itu, posisi berdiri kurang mendukung bagi kelan caran membuang air seni.

Di saat berdiri, vena terus aktif dan jantung tetap me mompa darah dengan kencang. Semuanya bermuara di jantung. Berbeda dengan posisi duduk. Dengan posisi ini maka jantung akan mengalami relaksasi. Dengan duduk pula maka saluran kencing akan mudah terbuka sehingga air seni keluar tanpa hambatan. Kesemuanya itu tidak dida patkan lewat posisi berdiri.

Menutup karyanya tersebut, al-Hakim menjelaskan tentang larangan mengadakan transaksi menggunakan emas ditukar dengan emas. Larang an itu berlaku selama nilai dan kadarnya tidak setara. Bila jual-beli dengan emas sementara nilainya berbeda, menurut sosok yang terinspirasi dan belajar agama dari sang ayah, Syekh Ali, praktik semacam ini dikategorikan riba. Dan, riba adalah perbuatan yang tidak diperkenankan dalam agama. Selain itu pula, riba merugikan salah satu atau kedua belah pihak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement