Senin 22 Jan 2018 06:36 WIB

Umat Islam di Amsterdam Dibayang-bayangi Diskriminasi

Mayoritas Muslim di Amsterdam adalah keturunan Maroko dan Turki.

Ibu kota Belanda, Amsterdam.
Foto: AP
Ibu kota Belanda, Amsterdam.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Amsterdam, ibu kota negeri kincir angin, merupakan salah satu kota dengan populasi Muslim terbesar di Uni Eropa. Di kota ini, warga Muslim tersebar di sejumlah ‘kantong’, yaitu Distrik De Baarsjes, Geuzeveld atau Slotermeer, Oud West, Oost-Watergraafsmeer, Slotervaart, Bos en Lommer, and Osdrop. Amsterdam sendiri memiliki 15 distrik.

Laporan bertajuk “Muslim di Kota-kota Uni Eropa” yang dilansir Open Society Foundation menyebut, pada 2008 di Amsterdam terdapat sekitar 90 ribu Muslim atau 12 persen dari populasi. Mayoritas Muslim di Amsterdam adalah keturunan Maroko dan Turki. Sementara lainnya berda rah Suriname, Mesir, dan Pakistan.

Muslim di Belanda pada umumnya berasal dari komunitas imigran yang masuk ke Belanda pada 1960-an dan mencapai puncaknya pada 1980-an dan 1990-an. Lebih dari 50 persen Muslim di Amsterdam saat ini merupakan imigran generasi pertama.

Sisanya berasal dari generasi kedua. Pada pertengahan 1960-an, pekerja migran laki-laki asal Maroko dan Turki mulai berdatangan di Belanda. Banyak di antara mereka menetap di Amsterdam. Sejak 1970-an, para pe kerja migran ini membawa keluarga nya ke Belanda setelah hukum mem perbolehkannya. Keluarga-keluarga buruh migran ini tinggal di distrik-distrik tua dekat pusat kota, seperti De Baarsjes dan De Pijp.

Arus imigrasi ke Belanda terus berlangsung. Pada 1980-an, gelombang kedatangan imigran ke negeri ini semakin besar. Banyak dari mereka menetap di pinggiran kota, salah satu nya di kawasan sebelah barat Amsterdam, Westelijke Tuinsteden. Ini adalah daerah yang dibangun pada 1950-an hingga 1960-an untuk meme nuhi kebutuhan perumahan kelas me nengah. Salah satu distriknya bernama Slotervaart. Hingga saat ini, Slotervaart merupakan salah satu kantong Muslim di Amsterdam. Jumlah Muslim di distrik ini hampir 25 persen dari total populasi Muslim di Amsterdam.

Laporan Open Society Foundations menyebutkan pula, sebagian Muslim di Amsterdam tergolong warga yang memiliki pendidikan sangat baik. Tak sulit untuk menemukan keluarga Muslim yang hidup sejahtera, dengan suami dan istri sama-sama bekerja. Meski demikian, tak bisa dimungkiri, ada sejumlah Muslim yang pendidikan dasarnya pun tak mereka lalui secara tuntas. Akibatnya, mereka sulit mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang memadai. Data menunjukkan, 30 persen keluarga Muslim di Amsterdam hidup dengan gaji minim.

Berwirausaha

Laman www.euro-islam.info merujuk pada sebuah riset di Amsterdam mengungkapkan, wirausaha adalah ke giatan yang menjadi sumber penghasil an bagi komunitas Muslim asal Mesir, Pakistan, dan India. Wirausaha ini me reka lakukan dalam skala kecil. Umumnya, mereka menjalankan bisnis sendiri, tanpa melibatkan pihak lain. Tercatat, hanya lima persen aktivitas bisnis kaum Muslim yang memiliki ba dan hukum dan mendapatkan status BV.

Seperti halnya di kota-kota lain di Eropa, Muslim di Amsterdam pun di ba yang-bayangi oleh tindakan diskri minasi. Salah satu bentuk diskriminasi itu adalah diskriminasi dalam standar upah. Dalam hal ini, besaran upah pe kerja Muslim lebih rendah dibanding kan upah warga Belanda non-Mus lim. Sebuah studi yang dilakukan Universitas Amsterdam pada 2002 membuktikan hal itu. Studi ini menemukan, untuk jenis pekerjaan yang sama, pekerja Muslim hanya diberi upah 13,2 euro per jam, sedangkan warga non-Muslim asli Belanda dibayar 14,9 euro per jam.

sumber : Mozaik Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement