Kamis 18 Jan 2018 18:50 WIB

Buta Aksara Alquran Tinggi, Ini Penyebabnya Kata Kemenag

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Agus Yulianto
Sekretaris Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Muhammadiyah Amin
Foto: Kemenag
Sekretaris Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Muhammadiyah Amin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat muslim buta aksara Alquran di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan hasil riset IIQ, sekitar 65 persen masyarakat Indonesia masih buta aksara Alquran. Tingginya angka itu terutama terdapat di daerah pedesaan atau di wilayah pelosok.

photo
Hipziah (37) mengajar anak-anak membaca Al-Quran sambil mengasuh anaknya Hiban (3) di kediamannya kawasan Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (21/12). Dengan memanfaatkan kediamannya, Hipziah mengajar ngaji kepada anak-anak yang berada di kawasan kediamannya secara cuma-cuma.

 

Demikian diungkap Rektor Perguruan Tinggi Istitut Ilmu Alquran (PTIIQ) Jakarta, Prof Nazaruddin Umar, belum lama ini. Menanggapi itu, Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama (Kemenag) RI Muhammadiyah Amin mengatakan, bahwa tidak semua daerah di Indonesia memiliki tingkat buta aksara Alquran yang masih tinggi. Namun, memang tingginya jumlah tersebut terjadi di daerah tertentu atau di wilayah pelosok.

Muhammadiyah lantas menuturkan penyebab masih tingginya jumlah buta aksara Alquran di wilayah pelosok. Salah satunya, belum banyak hafiz Alquran yang menyentuh hingga wilayah pelosok untuk mengajarkan Alquran.

Umumnya, kata dia, para hafiz Alquran tidak kembali ke kampung halaman mereka untuk mengajar Alquran setelah menjadi penghafal Alquran di kota. Alasan ekonomi ataupun upah yang kecil, bisa jadi alasan mereka tidak kembali ke kampung.

Di samping itu, menurutnya, biasanya penghafal Alquran mendapatkan tempat atau masjid di kota yang ditempati untuk dia menjadi imam di sana. "Hal inilah yang menyebabkan tidak adanya generasi yang bisa mengajarkan Alquran. Umumnya, yang masih ada di kampung adalah guru mengaji tradisional atau para orang tua yang mengajarkan mengaji," kata Muhammadiyah, saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (18/1).

Namun jika tidak ada guru mengaji, biasanya anak-anak akan pulang ke rumah dan tidur. Sedangkan orang tuanya, kata Muhammadiyah, juga tidak bisa mengajarkan mengaji. Hal inilah yang menjadi salah satu tantangan yang dihadapi masyarakat Islam saat ini.

Muhammadiyah mengatakan, tidak seimbangnya antara jumlah penyuluh agama Islam dan guru-guru TPA dengan pengetahuan dasar Alquran dengan jumlah masyarakat Islam di Indonesia. Salah satu fungsi penyuluh agama adalah untuk mengajarkan mengaji.

Dia mengatakan, anak-anak yang sudah seharusnya mengaji, tidak masuk pada posisi untuk belajar mengaji lantaran tidak ada guru di sana. "Inilah kemudian yang menjadi perjuangan Kemenag, khususnya bimas Islam, untuk menambah jumlah penyuluh agama dalam hal pemberantasan buta aksara Alquran," lanjutnya.

Terkait hal ini, Muhammadiyah mengatakan, Kemenag sudah memiliki kebijakan untuk menempatkan delapan penyuluh agama di setiap kecamatan. Namun yang menjadi masalah, adapula dalam satu kecamatan yang memiliki lebih dari 10 desa. Sehingga, ada desa yang tidak tersentuh oleh penyuluh agama untuk mengajarkan Alquran.

"Karena itu, yang menjadi tantangan Kemenag adalah masih banyak dibutuhkannya jumlah penyuluh agama. Terutama, bidang yang menangani pemberantasan buta aksara Alquran," katanya.

Kemenag, dikatakannya, melakukan perekruitan penyuluh agama dengan anggaran yang bisa ditampung. Karena anggaran yang sangat kecil, jumlah penyuluh agama terpaksa dikurangi dari 75.313 orang menjadi 45 ribu orang.

Pengurangan itu, menurutnya, dilakukan karena honor penyuluh agama yang dinaikkan oleh Kemenag. Sebelumnya, penyuluh agama Kemenag diberikan honor hanya sebesar Rp 300 ribu per bulan. Angka itu kemudian dinaikkan menjadi Rp 500 ribu per bulan.

"Padahal, dibutuhkan banyak penyuluh agama. Penyuluh agama hanya berjumlah 45 ribu orang. Sedangkan umat Islam di Indonesia berjumlah sekitar 217 juta," ujarnya.

Dalam hal ini, Kemenag terus berjuang di Komisi 8 DPR untuk menambah jumlah penyuluh agama dan meningkatkan honor mereka dari Rp 500 ribu paling tidak menjadi Rp 1 juta. Selain itu, Muhammadiyah mengatakan, buta aksara Alquran bisa disebabkan karena kurangnya mushaf yang diproduksi oleh pemerintah. Meskipun, ia mengatakan, bahwa penyebabnya karena hal ini tidaklah signifikan.

Dia mengatakan, kurangnya mushaf yang diedarkan oleh Kemenag bisa dimaklumi. Karena pada 2015, percetakan Alquran milik Kemenag berhenti beroperasi sejak diresmikannya pada 2008. Pada 2016, Kemenag hanya mencetak 35 ribu Alquran. Sedangkan tahun ini, Kemenag mencetak 170 ribu Alquran.

Keterbatasan tersebut, menurutnya, karena terkait dengan anggaran. Meskipun umumnya masyarakat membeli sendiri mushaf Alquran. Namun tentu saja, Muhammadiyah mengatakan Kemenag akan memperbanyak jumlah cetakan Alquran. Apalagi, kini Kemenag sudah memiliki percetakan Alquran sendiri di Ciawi, Bogor. Pada 2016, Menag Lukman Hakim Saifuddin tidak lagi melelang percetakan Alquran.

"Terkait ini, Kemenag membutuhkan dana tambahan untuk menambah jumlah penyuluh agama dan untuk mencetak mushaf Alquran yang lebih banyak," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement