REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tingkat buta huruf Alquran di Indonesia terbilang tinggi. Hasil riset dari Institut Ilmu Alquran (IIQ) akhir pekan lalu mencatat sekitar 65 persen masyarakat Indonesia buta huruf Alquran.
Dewan Dawah Islamiyah Indonesia (DDI) menilai, permasalahan tersebut harus menjadi perhatian bagi semua kalangan. "Sungguh sangat mengejutkan dan perlu dibahas dalam penyusunan program Dewan Dawah di tingkat Kabupaten/Kota bahkan Kecamatan," ujar Ketua DDI, Mohammad Siddik kepada Republika.co.id, Jakarta, Rabu (17/1).
Menurutnya, program tersebut harus melibatkan ratusan dai Dewan Dakwah di Indonesia. Usaha pengentasan buta huruf Alquran ini perlu diadakan secara massif dengan kerjasama organisasi dakwah serta takmir masjid.
"Kami harap himbauan ini menjadi pertimbangan dalam merevisi program di wilayah kabupaten, kota dan kecamatan," ucapnya.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kementerian Agama (Kemenag) RI, Machasin, menilai, untuk mengatasi hal itu diperlukan peran aktif masyarakat. Pemerintah, kata dia, hanya sebatas memfasilitasi. Sebab, membaca Alquran tidak seperti ibadah besar semisal haji, yang penyelenggaraannya wajib dan rutin.
Machasin mengatakan, salah satu cara dari Kemenag untuk meningkatkan tingkat melek Alquran adalah pencanangan program Gerakan Masyarakat Maghrib Mengaji (Gemar Mengaji). Program tersebut terinspirasi dari budaya sebagian besar masyarakat Muslim di Indonesia tempo dulu, yang kerap melakukan amalan tadarus Alquran tiap bada shalat Maghrib.
Adapun gerakan Gemar Mengaji pertama kali dideklarasikan oleh Menteri Agama RI, Suryadharma Ali, di Jakarta pada 26 September 2012. Kemenag mencanangkan program Gemar Mengaji bagi seluruh provinsi serta kabupaten/kota di Indonesia.
Harapannya, masyarakat akan kembali terbiasa dengan budaya mengaji Alquran tiap sesudah melaksanakan shalat Maghrib. Ini dilakukan baik di masjid, rumah, sekolah, maupun kantor instansi swasta atau pemerintah. "Program ini sudah dan sedang berjalan. Jadi, bukan seremonial," kata Machasin