Senin 08 Jan 2018 16:30 WIB

Perlahan, Islam Berkembang di Abessinia

Rep: Hid/ Red: Agung Sasongko
Pemandangan di wilayah bagian utara Ethiopia. (Ilustrasi)
Foto: REUTERS/Katy Migiro
Pemandangan di wilayah bagian utara Ethiopia. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perlahan, tapi pasti agama Islam mulai berkembang di Abessinia, yang kini disebut Ethiopia. Namun, perkembangan itu tak berjalan mulus karena mendapat perlawanan dari kaum Nasrani yang tinggal di wilayah utara Ethiopia, seperti Amhara, Tigray, serta Oromo.

Sehari-hari, masyarakat Oromo sebenarnya mempraktikkan tradisi Waaqa yang dipengaruhi budaya Islam. Tapi nyatanya, mereka tak suka Islam berkembang di negeri itu.  Mereka bahkan ingin sekali melenyapkan kaum Muslim dari Ethiopia. "Ekspansi yang dilakukan masyarakat  Oromo selama berabad-abad di wilayah selatan Ethiopia bertujuan untuk menghapuskan Islam dari kawasan itu," kata sejarawan Ulrich Braukamper.

Namun, upaya itu tak pernah berhasil. Hingga kini, Islam tetap eksis dan menjadi agama terbesar kedua di Ethiopia, setelah Nasrani. Sensus tahun 1994 menunjukkan, jumlah penduduk Muslim di Ethiopia mencapai 32,8 persen dari total populasi di negara itu. Umumnya, umat Islam berada di wilayah Afar, Oromo, Tigray, dan Gurage.

Sedangkan menurut sensus nasional 2007 terbaru, Islam adalah agama yang paling banyak dipraktikkan di Ethiopia setelah Kristen. Tercatat, pemeluk Islam di negeri ini mencapai lebih dari 25 juta (atau 33,9 persen) penduduk Ethiopia.

Di posisinya yang bukan mayoritas, umat Islam di Ethiopia pernah mencapai kegemilangan, yakni ketika mampu mendirikan kesultanan Muslim. Sejarah mencatat, ada beberapa kesultanan Muslim yang pernah berjaya di Ethiopia, di antaranya Kesultanan Adal, Kesultanan Aussa, Kesultanan Harar, Kesultanan Ifat, serta Kesultanan Shewa.

Namun, pada 1890-an, masa kejayaan itu mulai mencapai titik ujung. Posisi umat Islam kian terhimpit ketika  Raja Yohanes IV mengeluarkan kebijakan untuk mengkristenkan Ethiopia. Akibat kebijakan yang dibarengi aksi kekerasan itu, banyak umat Islam yang terpaksa berpura-pura mengaku memeluk Nasrani. Siang hari jadi Nasrani, sementara malam hari beribadah secara Islam. Dalam Islam, prinsip ini disebut taqiah, yakni menyembunyikan keyakinan demi keselamatan. 

Saat itu, Muslim yang tak mau menerapkan taqiah memilih angkat kaki atau hijrah ke tempat lain. Mereka membanjiri  wilayah perbatasan menuju Hijaz. Namun, ada juga yang tak mau taqiah, tapi tetap tinggal di Ethiopia. Oleh penguasa, warga yang tetap menunjukkan jati diri keislamannya itu dicap sebagai pemberontak.

Belakangan, umat Islam dan ulama Ethiopia bangkit menolak perlakuan Raja Yohanes IV. Adalah Syaikh Ali Adam, ulama pertama yang angkat senjata melawan kebijakan penghapusan Islam dari Ethiopia. Ulama kharismatik itu memulai perjuangannya di Shawa. Bersama pengikutnya, dia dihadang tentara Raja Yohanes IV di Wahelo, sebelah barat laut danau Hayk. Di tempat ini, Syaikh Ali Adam dan pengikutnya gugur.

Patah tumbuh hilang berganti. Sepeninggal  Syaikh Ali Adam muncul Thalha. Dia memimpin perlawanan terhadap aksi pemurtadan. Dia pula yang menentang perintah kepada umat Islam untuk membangun gereja. Kelompoknya juga berhasil mengalahkan pasukan Raja Yohanes yang dipimpin Ras Mikael. Pertumpahan darah ini tentu sangat disayangkan, mengingat negeri ini pernah dipuji oleh Rasulullah SAW sebagai negeri kerukunan agama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement