REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kamp pengungsi di Wundsorf, sebuah kota kecil di selatan Berlin, Jerman, adalah rumah bagi sekitar 630 pengungsi yang berasal dari berbagai negara. Di kamp tersebut banyak pula pengungsi dari Irak, Iran, dan Suriah. Mereka meninggalkan negaranya untuk menghindari kemelut perang antara pemerintah dengan milisi pemberontak yang tak kunjung usai dan menyebabkan penderitaan.
Kamp pengungsi di Wundsorf dibuka sejak Februari lalu. Kamp ini menempati sebuah gedung bekas kantor pemerintah setempat. Di sini para pengungsi tidak hanya ditampung, tetapi juga disediakan fasilitas untuk menunjang kebutuhan mereka, seperti taman untuk anak-anak, sekolah, rumah sakit, gimnasium, dan lain-lain.
Salah satu pengungsi di sini adalah Mohammed al-Khayeri, pria berusia 23 tahun asal Irak. Ia meninggalkan negaranya pada 2014 lalu dan berkelana ke beberapa negara seperti Turki dan Finlandia untuk mencari suaka. Namun, permohonan suakanya selalu ditolak.
Nasib baik menghampirinya ketika ia mengetahui bahwa Kanselir Jerman Angela Merkel menyambut para pengungsi ketika negara-negara lain tidak melakukannya. Ia pun memutuskan untuk berlindung di negara ini. Dan saat ini saya bekerja di gimnasium di gedung utama (kamp pengungsi Wundsorf), ungkapnya seperti dilaporkan laman Aljazirah, pekan lalu.
Sebagai rasa syukur karena telah selamat, al-Khayeri tidak pernah lupa atau menunda shalat lima waktu. Namun, di lingkungan kamp memang tidak ada masjid. Ia biasa shalat di ruang berdoa yang ada di gedung utama kamp.
Al-Khayeri tidak menyadari bahwa tepat di samping kamp Wundsorf pernah berdiri sebuah masjid bernama Moscheestrasse (Masjid Jalan). Masjid tersebut didirikan pada 1915 sebagai upaya untuk mendorong pemuda dan tentara Muslim memperjuangkan Jerman dalam Perang Dunia (PD) I.
Ketika perang membara di seluruh Eropa, bangsawan dan diplomat Jerman bernama Max von Oppenheim menyodorkan rencana besar kepada Kaisar Wilhelm II. Kala itu, Oppenheim mengatakan, untuk meningkatkan peluang Jerman memenangi perang, kaisar sebaiknya melibatkan tentara Muslim yang ditangkap dari Rusia, Inggris, dan Prancis. Caranya adalah dengan meyakinkan tentara Muslim untuk menyerukan perang agama melawan pihak Sekutu, yakni Inggris, Prancis, dan aliansi Rusia.
Pada tahun 1914, Oppenheim menulis, Dalam pertempuran melawan Inggris, Islam akan menjadi salah satu senjata kami yang paling penting.
Di tahun yang sama, rencana tersebut diwujudkan ketika Sultan Turki Mehmed V membentuk aliansi Jerman-Ottoman. Dari sebuah masjid di Konstantinopel, Mehmed V menyatakan Inggris, Prancis, dan Rusia adalah musuh umat Islam. Fatwa juga dikeluarkan bahwa setiap Muslim yang terlibat perang melawan Ottoman harus diganjar dengan hukuman terberat.
Realisasi dari fatwa ini dilakukan dengan membangun kamp perang untuk tentara Muslim di daerah Wundsorf dan Zossen. Kamp di Wundsorf pernah menahan sekitar 5.000 tentara Muslim. Sedangkan, kamp di Zossen pernah menahan sekitar 12 ribu tentara Muslim. Para tahanan tersebut ditangkap dari pasukan Sekutu, India, koloni Afrika, serta dari Krimea, Kazan, dan Kaukasus.
Di kamp Wundsorf, tepat pada awal Ramadhan 1915, Masjid Moscheestrasse didirikan. Masjid ini dimanfaatkan Jerman sebagai wadah untuk menyebarkan pengaruh politiknya. Isi khutbah atau ceramah di masjid tersebut bersifat politis yang bertujuan menguntungkan Jerman.
Tak hanya itu, di lingkungan kamp, baik di Zossen maupun Wundsorf, beredar selebaran dan surat kabar pro paganda bartajuk al-Jihad. Hal ini dilakukan guna semakin menancapkan penga ruh politik Jerman dan meng giring tentara Muslim yang berada di kamp untuk berperang dengan mereka.
Kendati telah melakukan upaya-upaya demikian, hanya sedikit tentara Muslim yang kala itu mau berperang di sisi Jerman. Tercatat setidaknya 1.100 orang dari Tatarstan (sekarang bagian dari Rusia), 1.048 orang Arab, dan 49 orang India justru membelot dari Jerman. Pada akhirnya rencana yang diusung Oppenheim itu memang dianggap gagal.