Rabu 03 Jan 2018 13:26 WIB

Kebijakan Pemerintah Inggris Berdampak Negatif pada Muslim

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Agus Yulianto
Muslimah Inggris
Foto: ustvh.com
Muslimah Inggris

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Sebuah kelompok hak asasi Muslim di Inggris melaporkan bahwa kebijakan pemerintah, termasuk yang terkait dengan keamanan dan ekstremisme, telah berdampak negatif terhadap umat Islam di Inggris. Komisi Hak Asasi Manusia Islam (IHRC) mengatakan, laporan itu menyebutkan, lebih dari 60 persen dari 1.782 responden tidak merasa bahwa para politisi mereka cukup memperdulikan mereka.

Sementara itu, 56 persen responden dilaporkan, mereka pernah mengalami pelecehan verbal. Sedangkan 18 persen responden dilaporkan pernah menghadapi serangan fisik.

Home Office menyatakan, bahwa mereka berkomitmen untuk memerangi sikap 'anti-Muslim yang berlatar kebencian'. Laporan itu juga mengungkapkan adanya rasio yang mengkhawatirkan tentang Islamofobia.

Dari mereka yang ditanyai, 50 persen di antaranya percaya bahwa kebijakan politik telah berdampak negatif terhadap kehidupan mereka. Sebuah studi kecil yang dilakukan oleh organisasi tersebut pada 2010 mencatat hampir sepertiga orang menyatakan hal serupa.

Dalam survei terakhir, lebih dari separuh responden (58 persen) mengatakan, mereka diperlakukan dengan bentuk kecurigaan oleh masyarakat. Sementara 93 persen responden mengatakan, telah melihat adanya stereotip negatif tentang orang-orang Muslim yang digambarkan di media.

Penelitian itu juga melibatkan wawacara mendalam dengan 50 responden. IHRC telah melakukan penelitian tentang diskriminasi terhadap umat Islam selama hampir dua dekade. Penulis laporan tersebut, Arzu Merali, mengatakan. mereka kini memiliki sebuah lingkungan di mana orang Muslim merasa dicurigai dan kehidupan semakin sulit.

"Dampak kebijakan pemerintah, khususnya yang terkait dengan keamanan, benar-benar berdampak pada pembungkaman umat Islam, bukan dari sudut pandang hanya membicarakan masalah politik, tapi bahkan untuk melaporkan kebencian anti-Muslim," kata Merali, dilansir dari The Muslim Weekly, Rabu (3/1).

Menurut laporan tersebut, kebanyakan Muslim dari semua latar belakang merasa telah mengalami beberapa bentuk prasangka. Sekitar 40 persen percaya bahwa mereka menghadapi diskriminasi di tempat kerja. Sedangkan 36 persen mengatakan, bahwa mereka pernah mengalami diskriminasi dalam pendidikan.

Sementara itu, 56 persen mengatakan, pernah mengalami pelecehan verbal dan 18 persen responden pernah menghadapi serngan fisik. Bulan lalu, perdana menteri Inggris mengumumkan kebencian yang anti-Muslim akan dicatat oleh pihak kepolisian di Inggris dan Wales sebagai sebuah kejahatan berlatar kebencian khusus untuk pertama kalinya.

Keputusan itu lantas disambut oleh IHRC. Meskipun, Merali mengatakan, lebih banyak yang harus diselesaikan untuk mengatasi Islamofobia.

"Yang benar-benar kita butuhkan adalah perubahan budaya, tidak hanya beberapa undang-undang di sini atau di sana. Sayangnya, kita memiliki masalah kelembagaan yang perlu ditangani," tambah Merali.

Seorang juru bicara Home Office mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk memerangi semua bentuk kejahatan berlatar kebencian. Menurutnya, pemerintah juga telah melakukan upaya lebih untuk melawan kebencian anti-Muslim.

Dia mengatakan, bahwa kebijakan seperti 'Pencegahan' itu ditujukan untuk melindungi mereka yang mungkin rentan terhadap pengaruh radikal yang berbahaya.

"Dan pemerintah terus bekerja dalam kemitraan dengan komunitas dari semua latar belakang agama untuk menantang orang-orang yang menyebarkan kebencian dan intoleransi," kata juru bicara Home Office tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement