REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta menyelenggarakan seminar catatan akhir tahun Islam di Ibukota 2017 di Kantor Harian Republika pada Rabu (27/12). Seminar diselenggarakan sebagai bahan refleksi dan evaluasi untuk umat Islam dan masyarakat pada umumnya.
"Acara ini adalah acara akhir tahun yang sangat bermanfaat, mestinya apa yang disampaikan di dalam seminar ini diketahui banyak orang," kata Ketua Umum MUI Provinsi DKI Jakarta, KH Syarifuddin Abdul Ghani kepada Republika di Kantor Harian Republika, Rabu (27/12).
KH Syarifuddin mengatakan, Insya Allah kalau ada kesempatan lain, MUI Provinsi DKI Jakarta akan mengundang ulama-ulama untuk mengikuti seminar serupa. Sebab, seminar ini sangat bermanfaat untuk umat Islam guna membaca dan menentukan langkah selanjutnya di masa yang akan datang. Dia juga menilai, umat Islam di Jakarta sejauh ini kondusif dan aman. Umat Islam bisa melaksanakan ibadah dengan tenang dan tenteram.
Sementara, Ketua Komisi Litbang MUI Provinsi DKI Jakarta, KH A Ahmad Syafi'i Mufid berpandangan, umat Islam dan Jakarta tidak bisa dipisahkan karena mempunyai latar belakang sejarah. Bahkan, lahirnya Jakarta erat kaitannya dengan umat Islam.
"Jakarta dan umat Islam tidak pernah bisa dipisahkan karena Jakarta lahir oleh umat Islam ditandai dengan perlawanan terhadap Portugis," jelasnya.
KH Syafi'i mengatakan, perlawanan terhadap Portugis dipimpin oleh Fatahillah dari Kesultanan Demak dibantu Banten dan Cirebon. Jakarta dulu disebut Sunda Kelapa, kemudian berubah menjadi Jayakarta. Itulah mengapa Jakarta dan umat Islam tidak bisa dipisahkan karena sejarah kelahiran Jakarta pun tidak bisa lepas dari peran umat Islam.
Ia menerangkan, perkembangan Islam di Jakarta selanjutnya menjadi inti budaya. Dulu di daerah selain Jakarta, ucapan assalamualaikum tidak lazim diucapkan saat bertamu ke rumah orang lain. Tapi di Jakarta ucapan assalamualaikum sudah lazim diucapkan oleh masyarakat sejak dulu.
"Maka Jakarta dan Islam dalam perkembangannya dari waktu ke waktu itu menjadi satu kesatuan yang sulit dipisahkan," ujarnya.
Ia melanjutkan, pada akhirnya Jakarta menjadi tempat bagi orang-orang dari berbagai suku bangsa dan agama. Kehidupan mereka di Jakarta dari dulu hingga sekarang rukun dan damai. Di Jakarta tidak pernah ada konflik antar agama. Juga tidak pernah ada konflik antar suku dalam pengertian konflik besar. Di Jakarta jika terjadi konflik adalah konflik politik. Konflik politik terjadi saat zaman kolonial, pascakemerdekaan sampai dengan reformasi dan pascareformasi.
"Itu konflik politik, sedangkan konflik agama dan suku tidak ada, Jakarta itu rukun-rukun saja," ujarnya.
Tapi, dikatakan HK Syafi'i, wacana dan perbedaan memang di Jakarta tempatnya. Tapi perbedaan tersebut tidak berakhir dengan kekerasan, itulah Jakarta.