REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perang dan pertikaian. Dua kata itulah yang selalu terngiang bila menyebut negara Irak. Tidak terlampau berlebihan jika muncul anggapan seperti itu mengingat gejolak dan kekerasan seolah tak berkesudahan terjadi di negara berjuluk 1001 Malam itu.
Irak yang pada abad silam dikenal sebagai metropolis dunia” ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa kini jatuh dalam keterpurukan. Perang demi perang terus melanda negeri itu. Pada era 80-an, Irak sempat terlibat perang dengan tetangganya, Iran. Usai perang, Irak justru masuk ke era kediktatoran Saddam Husein.
Kondisi Irak makin mengenaskan ketika pada 20 Maret 2003, Amerika Serikat (AS) dan sekutunya menginvasi negara itu lewat Operasi Pembebasan Irak”. Rezim Sadam Husein terguling, tetapi kondisi Irak malah bertambah parah. Pertikaian antarkelompok dan golongan makin menjadi-jadi.
Bom bunuh diri meledak di mana-mana. Darah terus mengalir seakan nyawa manusia sangat murah harganya. Kondisi itu membuat situasi dalam negeri Irak dipenuhi ketidakpastian. Krisis politik juga ikut mewarnai. Berbagai upaya rekonsiliasi dan perdamaian di antara pihak-pihak yang bertikai belum menunjukkan hasil maksimal. Akibatnya, sulit untuk membangun tatanan negara dan rakyat.
Hingga secercah harapan muncul. Sejak pertengahan tahun 2010, AS mulai menarik pasukannya yang diikuti oleh sekutunya yang lain. Dengan keluarnya pasukan asing, intensitas kekerasan diharapkan bisa ditekan.
Raj M Desai dalam tulisannya berjudul Iraq's Economy mengungkapkan, saat ini yang dibutuhkan segenap warga Irak adalah peningkatan taraf kehidupan. Dan itu hanya bisa tercipta bila terjadi pertumbuhan bidang ekonomi.
Menurut Desai, selama lebih dari enam tahun invasi AS, standar hidup warga Irak menurun drastis. Bahkan, lebih buruk daripada era Saddam. Negara dengan 95 persen berpenduduk Muslim itu memiliki tingkat pengangguran mencapai 20 persen per tahun.
Celakanya, angka pengangguran didominasi kaum muda. Jumlahnya hingga 30 persen. Fakta mencengangkan itu tentu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Menurut Raj, Pemerintah Irak terus mencoba mendorong geliat ekonomi dengan segala cara.
Salah satunya lewat investasi asing. Tetapi, ini pun tidak mudah. Kata Raj, meski tingkat kekerasan menurun dibandingkan pada lima tahun silam, belum juga bisa mengubah pandangan kalangan pengusaha mancanegara.
Sejatinya, potensi ekonomi Irak tergolong besar. Populasi mencapai 26 juta jiwa merupakan pasar yang menjanjikan. Sumber cadangan minyak buminya termasuk terbesar di dunia. Terkait hal ini, pemerintah telah menyusun rencana serta agenda.
Misalnya, penyerapan lapangan kerja hingga tiga juta jiwa. Perbaikan sistem perbankan, layanan publik, perminyakan, dan banyak lagi. Sektor swasta pun didorong agar dapat memberikan kontribusi lebih besar.
Menurut Raj, itu saja belum cukup. Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dibenahi pemerintah dan rakyat Irak. Ada beberapa hal penting untuk diperhatikan, antara lain, mereformasi birokrasi, utamanya yang berkaitan dengan pengelolaan ekonomi.
Langkah berikutnya membenahi peraturan investasi asing. Selama ini, aturan soal investasi memang dinilai masih banyak tumpang tindih. Hal lain adalah perlindungan tenaga kerja. Namun, terpenting bagaimana menghadirkan stabilitas,” papar dia.
Stabilitas itu mencakup berhentinya gejolak dan pertikaian di tingkat komunal maupun yang terjadi pada tataran elite politik. Jika dua prasyarat ini terpenuhi, roda perekonomian serta bidang lain bisa berjalan untuk mewujudkan kemakmuran.
Peran serta seluruh komponen bangsa menjadi kunci, terutama kalangan tokoh agama yang disegani dan dihormati di masyarakat. Salah satu ulama terkemuka di Irak, Ayatollah Ali al-Sistani, sepakat bahwa para ulama harus terlibat aktif dalam upaya rekonstruksi pembangunan.
Para ulama, menurut Ali al-Sistani, bisa menjembatani pihak-pihak yang saling bertikai, misalnya saja, ketika terjadi deadlock dalam pembentukan kabinet pemerintah. Banyak kalangan menaruh harapan agar tokoh agama dan masyarakat bisa turut menengahi masalah di lingkup politik.
Al-Sistani berpendapat, hendaknya semua kelompok diakomodasi dalam formasi pemerintahan. Tujuannya agar tidak muncul gejolak serta menghadirkan stabilitas di dalam negeri. Jika pemerintahan telah terbentuk, kita akan bisa melihat golongan Sunni, Syiah, Kurdi, atau Nasrani, saling bekerja sama,” tutur al-Sistani berharap.
Pengaruh al-Sistani dan ulama lain di Irak memang cukup besar. Oleh sebab itu, seperti dikatakan mantan duta besar AS untuk Irak, Christopher Hill, mereka diharapkan mencairkan komunikasi yang terhambat di antara kelompok dan golongan itu.
Syekh Abud al-Mahdi al-Karbalai, ulama terkemuka lainnya di Irak, menyatakan kalangan agamawan siap memberikan solusi demi terwujudnya kabinet pemerintah. Jika pembicaraan masih menemui jalan buntu, kami sepakat menggelar pertemuan untuk mencari solusi bersama,” katanya.