REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam perjalanannya, bayt al-mal lantas mempunyai fungsi ganda, yakni simpan pinjam. Inilah cikal bakal perbankan modern,” paparnya. Mengutip keterangan sejarawan serta penjelajah Muslim legendaris, ibn Khurdadbih, bayt al-hikmah telah menyalurkan dana kredit mencapai jumlah dua juta dirham.
Demikian juga sejarawan Ahmad Ali, menyatakan, meski tidak banyak diketahui mengenai mekanisme kredit itu, bisa disimpulkan tidak ada bunga yang dibebankan kepada penerima kredit.
Selain menyalurkan kredit pertanian, sambung Imam Ud-Din, terdapat fungsi lain, yakni pembiayaan transaksi perdagangan. Fasilitas ini semakin tumbuh pesat pada zaman Abbasiyah.
Umat Muslim telah berhasil menjalin kontak dagang di berbagai kawasan sekaligus memperbanyak jenis produk dagang. Imam Ud-Din memaparkan, para pedagang ataupun wirausahawan dapat meminjam dana dari bayt al-mal guna membeli barang dagangan di berbagai sentra produksi yang tersebar di wilayah Islam.
Dalam kaitan ini, seperti ditambahkan oleh SM Ghafanzar pada tulisannya berjudul Capitalist Traditions in Early Arab-Islamic Civilization, umat Muslim telah mengenalkan sistem letter of credit (suftajah) ataupun cek perjalanan. Dengan surat itu, si pedagang tidak perlu lagi membawa uang dalam jumlah besar yang berisiko dirampok di tengah perjalanan.
Ia bisa mencairkan uangnya di cabang bayt al-hikmah terdekat yang ada di tempat tujuan, hanya dengan menunjukkan surat tadi. Tak hanya itu, para pedagang juga bisa membayar pinjamannya di cabang-cabang bayt al-hikmah.
Suftajah dan cek perjalanan menjadi semakin populer di kalangan pengusaha. Ghafanzar menggambarkan, hingga tahun 1000, hampir seluruh pelaku usaha di Basra dan Baghdad, telah memiliki rekening pribadi di bayt al-hikmah.
Mekanisme surat cek juga merupakan terobosan lain yang penting. Cek berperan dalam transaksi pembayaran. Kesepakatan dagang dalam jumlah besar, biasanya memakai cek ini sehingga tidak perlu lagi menyediakan uang tunai.
Cara ini akhirnya menjadi metode transaksi yang penting di Baghdad, serta menyebar luas ke wilayah-wilayah Islam lainnya,” ujar Ghafanzar.
Seiring itu, muncul transformasi institusi keuangan yang disebut ma'una atau 'membantu'. SM Ghafanzar membandingkannya dengan bank swasta di zaman modern. Ma'una juga menyalurkan dana negara sebagai kredit untuk sektor perekonomian rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim.
Teknik dan metode perbankan di dunia Islam ini kemudian diadopsi di Eropa Barat. Transfer pengetahuan itu diperkirakan berlangsung sekitar abad ke-11 dan 12. Ketika itu di sebagian wilayah Islam sedang dalam kondisi peperangan dengan pasukan Kristen Eropa.
Dalam bukunya berjudul Ksatria Templar, Cikal Bakal Freemasonry, Harun Yahya menegaskan, sebagian pasukan Salib membawa pengetahuan tentang perbankan yang diperoleh dari wilayah Islam ke Eropa Barat.
Mengutip sejarawan Alan Butler dan Stephen Defoe, dikatakan, mereka sangat ahli dalam memutar modal, terutama dengan memanfaatkan teknik yang belum dikenal di Eropa masa itu. Jelas bahwa mereka memiliki keterampilan itu dari sumber-sumber di Timur Tengah,” papar keduanya pada buku The Templar Continuum.
Tapi, berbeda dengan kaum Muslim, pelaku perbankan di Barat menerapkan sistem bunga yang sangat besar. Meski sistem riba amat keras dilarang dalam agama Islam, tidak demikian di Barat. Mereka tidak takut meminjamkan uang dengan memungut bunga,” ujar Harun Yahya.