Sabtu 23 Dec 2017 04:06 WIB
Sayyid Qutb Penyeru Keadilan dan Kebangkutan Umat Islam (2)

Barat Vs Timur dalam Pemikiran Sayyid Qutb

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agus Yulianto
Unjuk rasa menolak kebijakan Trump yang melarang pendatang muslim ke Amerika di Bandara Internasional Philadelphia
Foto: Tracie Van Auken/EPA
Unjuk rasa menolak kebijakan Trump yang melarang pendatang muslim ke Amerika di Bandara Internasional Philadelphia

REPUBLIKA.CO.ID, Ketajaman pena Sayyid Qutb dalam mengkritik budaya Barat sudah mengemuka sejak 1930-an. Musallam menjelaskan, sebagai intelektual Mesir Sayyid Qutb sejalan dengan rekan-rekannya dari generasi 1920-an yang mencoba merumuskan identitas nasional lepas dari dominasi Barat. Satu hal yang kerap disuarakan Sayyid Qutb adalah, kebudayaan Barat terlampau mengagungkan progres kebendaan dengan mengabaikan aspek-aspek rohani. Baginya, Barat mengalami keadaan jahiliyah atau bahkan kelainan jiwa kolektif sehingga enggan memiliki arah tujuan. Pada akhirnya, krisis yang dialami Barat tersebar merata ke penjuru dunia berkat kolonialisme sejak abad ke-19.

Sayyid Qutb juga mengkritik kaum Arab yang suka meniru-niru Barat. Dia menyebut mereka sebagai pengidap sindrom terjajah. Mereka tidak sadar bahwa Barat merupakan sumber kemerosotan moral. Menurut Sayyid Qutb, ilmuwan Muslim Ibnu Khaldun merupakan intelektual pertama yang mengidentifikasi sindrom demikian pada suatu masyarakat. Dia menyimpulkan, Timur harus bangkit dan maju tanpa mengikuti jejak Barat yang membangun kebudayaan dan masyarakatnya tanpa arah dan perenungan.

Sayyid Qutb lantas mengecam keras cara Barat memandang Timur. Menurutnya, Barat melalui kerja para orientalis telah menuding Islam dan Timur pada umumnya secara tidak adil. Kalangan orientalis telah gagal dalam memahami aspek spiritual Islam dengan memandang risalah Nabi Muhammad SAW semata-mata tidak masuk akal. Padahal, Sayyid Qutb menegaskan, akal manusia pada dasarnya terbatas dalam memahami gejala alam semesta, apalagi eksistensi Sang Pencipta.

Musallam menyebut bahwa sejak akhir 1930-an, Sayyid Qutb kian kritis terhadap Barat. Beberapa sasaran utamanya adalah Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat (AS). Saat itu, dua imperium yang tersebut pertama menggempur perjuangan kaum nasionalis di Suriah, Maroko, Tunisia, Aljazair, dan Palestina. Dia juga mengutuk keras pergerakan Zionisme yang semakin menyudutkan bangsa Palestina di tanah airnya sendiri. AS juga dikecamnya lantaran mendukung pendudukan Zionisme.

Namun, segenap pandangan kerasnya itu tidak hanya berasaskan teori. Sayyid Qutb diketahui kerap mengadakan kunjungan ke negara-negara Barat. Bahkan, dua tahun lamanya dia menetap di AS untuk menimba ilmu di Wilson Teachers' College (Washington DC), Colorado State College for Education(Greeley), dan Stanford University. Hasil lawatannya ini dituangkan dalam karyanya, The America I Have Seen: In the Scale of Human Values (1951), yang antara lain mengkritik gaya hidup jahiliyah masyarakat Negeri Paman Sam.

Sebelumnya, dia mulai tertarik untuk kembali mendalami Alquran. Pada Februari dan Maret 1939, artikel Qutb tentang nilai kesastraan Alquran terbit di jurnal al-Muqtathaf. Menurut Musallam, penerbitan karya ini merupakan awal pergeseran peran Sayyid Qutb dari seorang budayawan atau kritikus sastra menjadi ulama Muslim terkemuka. Namun, semua itu masih dalam posisinya sebagai intelektual anti-Barat.

Pada 1945 dan 1947, Sayyid Qutb berturut-turut menerbitkan al-Taswir al-Fanni fi al-Quran dan Masyahid al-Qiyamah fi al-Qur'an. Dengan dua karya pentingnya itu, dia berharap para pembaca dapat menghayati betapa indahnya kitab suci umat Islam itu. Baginya, kaum Arab yang pertama kali menyimak Alquran pertama-tama terpesona pada keindahan bahasanya, barulah kemudian para pakar tafsir dan sejarawan menyimak Alquran pada aspek yang lebih detail.

Namun, Sayyid Qutb tidak berhenti pada soal kesastraan. Dia juga mempersoalkan pesan-pesan Alquran kepada umat manusia, khususnya kaum Muslim. Musallam menyebut, pada akhir 1943, Sayyid Qutb menulis artikel yang menegaskan perlunya umat Islam terutama di Mesir untuk kembali meneguhkan jiwa tauhid. Ini sesuai dengan konteks zaman saat itu. Sejak 1945, Perang Dunia II berakhir dan menyisakan keadaan tak menentu bagi negeri-negeri terjajah, termasuk Mesir. Di samping itu, umat Islam terpecah-pecah ke dalam beberapa negara yang batas-batasnya ditentukan kolonialisme sebelumnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement