Jumat 22 Feb 2019 14:18 WIB

Sayyid Qutb, Intelektual-Sastrawan Penulis Kitab Tafsir (2)

Jiwa nasionalis diperoleh Sayyid Qutb dari membaca sastra

(ilustrasi) Sayyid Qutb
Foto: tangkapan layar google image
(ilustrasi) Sayyid Qutb

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sayyid Qutb menempuh pendidikan dasar sejak berusia enam tahun. Dia didaftarkan ke sekolah formal, alih-alih tradisional.

Kecerdasan Sayyid Qutb tampak menonjol di antara para murid. Khususnya dalam matapelajaran bahasa dan sastra Arab serta mengaji Alquran. Saat berusia 10 tahun, dia sudah dikenal sebagai seorang penghafal Alquran (hafizh).

Daya tangkap Sayyid Qutb juga ditunjang dengan kecintaannya terhadap buku. Di luar sekolah, dia aktif di lingkungan masjid dengan rutin mengikuti shalat berjamaah serta ceramah-ceramah bersama sang ayah.

Peran ayahnya juga besar dalam membentuk pola pikir Sayyid Qutb muda. Adnan Ayyub Musallam dalam disertasinya untuk University of Michigan (1983) mengungkapkan, Qutb Ibrahim merupakan aktivis Partai Nasionalis Mesir, khususnya pada organisasi otonom al-Liwa.

Semasa Perang Dunia I, kediaman Ibrahim kerap menjadi tempat pertemuan para anggota partai tersebut cabang Desa Musha. Inilah yang menimbulkan kesan mendalam pada diri Sayyid Qutb.

Lantaran pengaruh sang ayah, Sayyid Qutb sejak umur anak-anak juga menggemari buku-buku tentang nasionalisme. Dia bahkan sudah membaca sajak-sajak gubahan aktivis Tsabit al-Jurjani yang saat itu menjadi tahanan politik penguasa. Tulisan-tulisan karya sejarawan nasionalis Muhammad al-Khudari juga dilahapnya.

Ketika revolusi Mesir yang dipimpin Saad Zaghlul terjadi pada 1919, dia bahkan menggubah beberapa sajak sederhana bertema nasionalisme. Dapat dikatakan bahwa Sayyid Qutb sudah mengerti dunia politik sejak masih belia.

Jiwa empati dan sosial Sayyid Qutb sudah terbina masih usia anak-anak. Padahal, di lingkungan keluarganya, dia cukup dimanja. Apa saja permintaannya mesti dituruti--selama keadaan memungkinkan.

Namun, Sayyid Qutb enggan merasa diri istimewa. Dia berteman dengan siapa saja. Salah seorang sahabatnya kala itu, Jum’ah, merupakan anak dari keluarga miskin yang sehari-hari bekerja sebagai buruh serabutan.

Jum’ah dan kawan-kawan kerap dibimbing Sayyid Qutb untuk bisa membaca dan menulis. Bahkan, dia tidak jarang memberikan alat-alat tulis dan buku kepunyaannya kepada mereka. Musallam mencatat, di masa inilah Sayyid Qutb mulai menyadari, betapa kerasnya kehidupan kaum papa.

Baca juga: Sayyid Qutb, Intelektual-Sastrawan Penulis Kitab Tafsir (3)

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement