Sabtu 09 Dec 2017 22:39 WIB

Kaji Kurikulum Madrasah Perlu Peran Ormas

Rep: Fuji E Permana/ Red: Agung Sasongko
Madrasah (ilustrasi)
Foto: blogspot.com
Madrasah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag) akan mengkaji kurikulum madrasah pada awal 2018. Pengamat Pendidikan Islam, Jejen Musfah berpandangan, sudah benar melakukan kajian terhadap kurikulum karena kurikulum tidak boleh statis.

"Secara teoritis memang kurikulum tidak boleh statis, jadi tidak boleh kurikulum itu dua sampai empat tahun tanpa ada peninjauan," kata Jejen kepada Republika.co.id, belum lama ini.

Ia menerangkan, jadi dari sisi teoritis sudah benar kalau melakukan kajian akademis terhadap kurikulum madrasah. Keputusan Dirjen Pendis mengundang Ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam proses pengkajian kurikulum madrasah juga sudah tepat.

Menurutnya, mungkin akan lebih bagus lagi mengundang ormas Islam lain yang memiliki pandangan berbeda. Supaya hasilnya ilmiah. Jadi dikaji apa untung dan ruginya kalau isu semacam khilafah masuk ke dalam kurikulum.

Dikatakan dia, memang tidak boleh ada di dalam buku Pendidikan Agama Islam (PAI) isu-isu yang kontra produktif dengan persatuan, Pancasila dan NKRI. "Saya sebut kontra produktif, lebih baik percaya bahwa dalam Islam itu mematuhi pemerintahan yang sekarang hasil sebuah sistem demokrasi lebih bagus daripada mendorong khilafah," ujarnya.

Ia melanjutkan, sebab di dalam Alquran sudah jelas dikatakan taat kepada Rasulullah dan taat kepada pemerintah yang sah juga bagian dari perintah agama. Jejen menambahkan, di Kemenag ada yang disebut Islam rahmatan lil alamin. Jadi yang dimaksud nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin ada berapa. Kalau di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan ada 18 karakter Islam rahmatan lil alamin.

Ia menegaskan, Kemenag harus tegas dan jelas, yang dimaksud nilai Islam rahmatan lil alamin ada berapa. "Nilai-nilai itulah yang sesungguhnya harus kontekstualisasi di dalam setiap bab buku agama Islam," ujarnya.

Ia menjelaskan, jadi kalau berbicara tentang haji, sholat, zakat, rukun Iman, rukun Islam dan sejarah Islam, maka harus relevansi dengan nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin. Artinya mengajarkan agama tidak lagi terlepas dari konteks keIndonesiaan dan keumatan.

Menurutnya, siswa juga diberitahu apa yang sedang terjadi di lingkungan masyarakat. Sebab, sering kali guru agama hanya mengajarsecara textual dan textbook, tapi tidak contextual."Kalau yang diajarkan seperti itu peserta didik tidak memahami apa yang sesungguhnya sedang terjadi di masyarakat, di bangsa ini, bahkan mungkin di dunia ini," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement