REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Apabila pengelolaan zakat dilakukan seperti pajak diyakini dapat mempercepat upaya pengentasan kemiskinan di negeri ini. Sebab, dengan mewajibkan umat Islam menunaikan Rukun Islam ketiga itu, akan mendorong peningkatan realisasi potensi penghimpunan zakat nasional yang mencapai Rp 217 triliun.
“Pengelolaan zakat seperti pajak maka jumlah pengumpulan zakat akan meningkat drastis," kata Deputi Baznas M Arifin Purwakananta saat Diskusi Bedah Zakat dan Peluncuran Majalah Baznah di Menara Taspen, Jakarta, Rabu (22/11). Sehingga pemerintah tidak perlu lagi mengalokasikan dana APBN untuk program pengentasan kemiskinan. "Jadi, cukup diambilkan dari dana zakat, infak dan sedekah,” ujarnya.
Selain menginginkan pengelolaan zakat seperti pajak, BAZNAS juga mengusulkan revisi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan zakat menjadi peraturan presiden (Perpres) tentang pemotongan gaji aparatur sipil negara (ASN) dan pegawai BUMN/BUMD serta perusahaan (swasta) untuk membayar zakat.
Dekan Fakultas Ilmu Ekonomi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Asep Saepudin Jahar, MA sependapat dengan apa yang disampaikan Arifin. Menurutnya, pengelolan zakat dan pajak dapat dilakukan secara integratif dan dikelola negara dengan didukung manajemen dan kebijakannya dilakukan secara modern berdasarkan prinsip good governance.
Bila regulasi zakat seperti pajak, lembaga terkait seperti BAZNAS dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) bisa lebih fokus dalam mengentaskan kemiskinan dan mencapai tujuan keadilan sosial. Sehingga ketimpangan di masyarakat bisa dikurangi.
Menurut Asep, karena zakat bersifat sosial dan menyangkut akumulasi harta yang terkait masalah keadilan ekonomi, maka diperlakukan berbeda dengan shalat yang bersifat personal, yang tidak mungkin dilakukan pemaksaan oleh negara.
Zakat terkait dengan hak orang lain dan sirkulasi harta, maka negara punya kewenangan untuk memaksa. Karena zakat juga merupakan kewajiban, bukan ibadah sukarela. "Pembayaran zakat sebagai kewajiban, memberikan hak kepada negara untuk memberikan sanksi sosial dan ekonomi,” kata Asep.
Instrumen negara dapat menjangkau segala lapisan struktural masyarakat, maka keterlibatan negara akan mendorong terjadinya kesejahteraan dan keadilan sosial. Negara punya hak untuk mengontrol dan mengelola zakat dari masyarakat untuk tujuan sosial.
Di Brunei Darussalam, Malaysia, Kuwait, Sudan, Singapura, Arab Saudi dan Yordania, otoritas diberikan kepada negara untuk menjadi pengontrol dan pengelola utama perzakatan. Lembaga seperti Laz, fungsinya lebih sebagai patner atau mitra yang mengembangkan usaha-usaha (pemberdayaan tertentu) dari hasil zakat tersebut.