REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilik nama asli Regis Fayette Mikano melewati masa-masa kelam dalam hidupnya. Berbagai aksi kejahatan pernah dilakoni oleh pria berdarah Kongo ini. Pria kelahiran 14 Maret 1975 ini mengisahkan sepak terjangnya sebelum merengkuh di pangkuan Islam. Ia sering kali terlibat dalam pencurian mobil dan peredaran narkoba.
Tak sedikit orang yang antipati terhadap masa depannya. Semua bermula ketika pada 1977 kedua orang tua Regis yang berdarah Kongo membawanya kembali ke negara asal mereka, Kongo, dan tinggal di Brazzaville (ibu kota serta kota terbesar di Republik Kongo). Regis menghabiskan masa kecilnya di sana, sebelum ia dan keluarganya kembali ke Prancis dan menetap di Distrik Ghetto atau Neuhof (selatan Kota Strasbourg) pada 1981.
Sang ayah pergi meninggalkan rumah, saat Regis berusia remaja. Ibunya harus berjuang sendirian membiayai dan mendidik anak-anak nya. Regis mulai tumbuh menjadi penjahat kecil. Tinggal di lingkungan baru dan tanpa ayah, Regis belajar memenuhi keterbatasan dan kekurangan yang ia temukan di rumah.
Bermula dari melakukan kejahatan kecil, ia terus tumbuh menjadi penjahat kelas kakap dengan sejumlah temannya. Aku menyambar dan mencuri mobil, untuk menghasilkan uang yang tidak dapat diperoleh dari rumah, katanya. Dalam kondisi itu, Regis melayani tiga peran kehidupan sekaligus. Sebagai seorang anak yang berjuang menjaga keluarganya, siswa berprestasi di sekolah, dan penjahat jalanan yang cerdik.
Titik balik Kendati demikian, masih ada secercah kebaikan dalam dirinya, rasa keingintahuannya sangat besar ihwal asah spiritual. Regis memilih menyalurkan rasa frustrasinya melalui musik rap, bercerita dan menyampaikan kritik sosial dari semua yang terjadi. Terinspirasi oleh rap Amerika pada 1980- an, Regis dengan saudaranya bergabung dengan sejumlah temannya dan membuat grup yang diberi nama New African Poets, yang disingkat NAP.
Di tengah kekritisannya, Regis kecanduan gerakan Black Power dan mengidolakan Malcolm X sebagai pahlawan Muslim kulit hitam, yang telah berani menentang ketidakadilan. Dari sinilah perkenalannya dengan Islam dimulai. Dari sinilah perkenalannya dengan Islam bermula. Baginya dan tak sedikit imigran di Prancis saat itu, Islam menawarkan identitas yang menantang. Di Prancis, Regis tinggal di wilayah Ghetto. Ghetto merupakan kediaman minoritas imigran di Prancis.
Saat bersekolah, ia sering melihat polisi mengatakan semua imigran adalah orang Prancis. Namun dalam kenyataannya, ia belum pernah melihat seorang kulit hitam tampil di TV. Termasuk tidak adanya politisi berkulit hitam. Regis mulai mencari tahu tentang Islam dengan mendengarkan khotbah-khotbah tentang Islam di jalan-jalan.
Akhirnya pada usia 16 tahun, Regis memutuskan masuk Islam dan berganti nama menjadi Abd al-Malik. Setelah memeluk Islam, Abd al-Malik mera sakan perubahan dalam hidupnya. Beberapa tahun setelah menjadi Muslim, ia melakukan perjalanan dakwah berkeliling Prancis bersama teman Muslimnya. Dalam dakwahnya, ia mengajak para pemuda mendatangi masjid, menjalankan sunah dan berhenti minum alkohol serta obat-obatan ter larang. ed: nashih nashrullah
Musik Rap Media Mendakwahkan Islam Damai
Abd al-Malik melihat ajaran Islam yang tengah populer di Ghetto Prancis, bukanlah sesuatu yang secara eksplisit mencerminkan kekerasan. Namun, sebagai seorang imigran muda yang fanatik ia mendorong untuk menjauhi segala hal yang bersifat sekuler, modern, dan kebarat-baratan. Hal tersebut justru menimbulkan pergolakan batin dalam dirinya.
Sebagai seorang remaja, Abd al-Malik merasakan kecintaannya terhadap musik rap. Dia harus menjauhi jenis musik tersebut karena musik rap, termasuk hal yang modern dan kebarat-baratan. Pada saat keislamannya seumur jagung, sebagai seorang rapper, Abd al- Malik marah ketika mendengar opini yang mengatakan Islam tidak sejalan dengan seni musik yang ia pilih.
Di autobiografinya yang berjudul Sufi Rapper (2009), Abd al-Malik berpendapat, budaya rap Prancis lahir dalam konteks rasisme dan xenofobia (ketakutan terhadap orang asing yang berlebihan) secara luas. Ia masih ingat, bagaimana publik meng kritiknya akibat statusnya sebagai anak imigran.
Hal ini diperburuk dengan banyaknya diskriminasi yang ia peroleh dalam banyak hal. Oleh karena itu, musik rap menjadi populer pada 1990-an, musik rap dikritik sebagai seni yang mengagungkan kekeras an dan mempertinggi ketegangan rasial. Abd al-Malik terjebak dalam paradoks untuk beberapa tahun. Itu menyakitkan, katanya. Rasa sakit semakin terasa karena ia menyadari musiknya dibiayai dengan kejahatan dan menjadi bagian peredaran narkoba.
Kekacauan batin mendorong Abd al- Malik mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang imannya. Dalam pencarian itu, ia menerima jawaban dari tasawuf. Abd al-Malik bertemu dengan seorang guru spiritual dari Afrika Utara yang mengajarkannya, esensi agama adalah cinta dan kesadaran terhadap sifat rohani setiap manusia.
Jadi, Islam adalah agama cinta. Islam adalah perdamaian dengan diri sendiri dan orang lain. Pembelajaran ini memberi perubahan pola pikir bagi Abd al-Malik. Ia mulai memainkan perannya dalam seni. Abd al-Malik mulai menulis lagu untuk album solonya. Lagu yang ia tulis membawa pesan untuk menyerukan pemahaman antar ras.
Dalam autobiografinya, Abd al-Malik menjelaskan, melalui musik ia hanya mencoba menerjemahkan bahasa hati. Untuk itu, ia memutuskan untuk mening galkan musik rap aliran keras dan mulai berkolaborasi dengan berbagai musisi, untuk mengembangkan genre baru campur an musik jazz. Dengan demikian, ia dapat menyampaikan kritik secara beretika.
Ketika rapper lainnya terus menciptakan musik kemarahan dan beberapa dari mereka dituduh menghasut kekerasan, Abd al-Malik tetap pada pilihannya. Daripada mengkritik sistem Prancis, Abd al-Malik mendorong negara untuk hidup sesuai dengan cita-cita demokrasi. Melalui musiknya, ia telah memperoleh banyak penghargaan.
Ia ingin menunjukkan umat Islam tidak harus menghindari hal-hal yang modern. Apalagi, jika bisa melakukan sesuatu dengan hal tersebut.