Selasa 14 Nov 2017 15:16 WIB

Muslim dan Yahudi Jadi Korban Kejahatan Kebencian Terbesar di AS

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Agus Yulianto
Kelompok Muslim Amerika Serikat mengampanyekan anti Islamofobia
Foto: world bulletin
Kelompok Muslim Amerika Serikat mengampanyekan anti Islamofobia

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI) telah menerbitkan laporan tentang persentase kejahatan kebencian akibat sentimen suku, ras, agama, dan antar golongan (SARA) yang terjadi di AS sepanjang 2016. Dalam laporan tersebut, Muslim dan Yahudi menjadi kelompok yang paling sering menjadi korban kejahatan kebencian.

Laporan yang diterbitkan FBI menghimpun informasi yang diajukan aparat penegak hukum dari seluruh AS. Dalam laporannya, tercatat terdapat 6.221 kasus kejahatan kebencian akibat bias atau sentimen SARA. Jumlah ini naik 4,6 persen bila dibandingkan pada 2015 yang hanya mencatat sekitar 5.850 kasus.

Analisis terhadap 6.063 insiden bias tunggal yang melibatkan 7.509 korban mengungkapkan, 21 persen dari kasus tersebu didorong oleh bias agama. Ini menjadi motivasi tertinggi kedua setelah bias ras dan etnisitas.

Adapun pemeluk agama yang paling sering atau jamak menjadi korban kejahatan kebencian akibat bias agama adalah Muslim dan Yahudi.  Bias anti-Muslim membentuk bias agama tertinggi kedua dengan persentase 25 persen. Sedangkan bias anti-Yahudi merupakan yang paling tertinggi, yakni dengan persentase 55 persen.

Laporan FBI ini seperti mengonfirmasi keluhan dan keresahan yang selama ini disuarakan warga AS, khususnya kalangan Muslim. Mereka mengklaim telah terjadi peningkatan cukup signifikan terkait kejahatan atau pelecehan yang disebabkan Isalamofobia.

Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR), yang merupakan kelompok hak asasi manusia dan advokasi Muslim terbesar di AS mengatakan, dalam sebuah pernyataan bahwa laporan yang dirilis FBI menunjukkan perlunya semua masyarakat AS bangkit menghadapi kefanatikan nasional.

“Kita semua telah menyaksikan kemarahan dan prasangka yang menandai musim pemilihan presiden tahun lalu, dan itu berkembang secara nasional di lingkungan politik saat ini,” ujar Direktur Departemen Nasional CAIR untuk Pemantauan dan Perlawanan Islamofobia Corey Saylor, dikutip laman Anadolu Agency. 

“Untuk membalikkan kecenderungan yang mengganggu ini terkait peningkatan kebencian dan pembelahan masyarakat, kita harus berdiri untuk menghadapi kefanatikan yang menargetkan kelompok minoritas,” kata Saylor.

The Southern Poverty Law Center mengatakan, pada awal tahun ini bahwa mereka menemukan lonjakan drastis dalam kejahatan kebencian, pelecehan, dan intimidasi di seluruh AS. Hal ini, menurut mereka, terjadi setelah Donald Trump terpilih sebagai presiden pada November 2016.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement