REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA— Badan Wakaf Indonesia (BWI) menggelar Seminar Internasional Waqf Governance and Development. Kegiatan ini dilakukan sebagai upaya meletakkan tata kelola wakaf agar lebih baik.
Selain seminar, acara yang berlangsung di Surabaya 8-9 November itu merupakan rangkaian dari The 4rd Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) 2017. Hasil kerjasama BWI bekerja sama dengan Bank Indonesia (BI), Islamic Research and Training Institute–Islamic Development Bank, dan Kuwait Awqaf Public Foundation (KAPF)
Ketua Divisi Luar Negeri BWI Muhammad Luthfi, mengatakan kondisi wakaf Indonesia yang sudah jauh berkembang ini menuntut adanya tata kelola perwakafan yang lebih baik dari sisi regulasi, pengawasan, manajemen, pelaporan, penyaluran manfaat, dan aspek-aspek lainnya.
Bahkan undang-undang wakaf pun perlu direvisi agar sejalan dengan perkembangan wakaf. Karena itulah Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Bank Indonesia (BI) menyusun dokumen Waqf Core Principles (WCP) bekerja sama dengan para akademisi sejak dua tahun yang lalu.
"Dokumen WCP ini bisa menjadi kerangka acuan dalam penyusunan tata kelola wakaf masa depan sebagai salah satu kontribusi BWI sebagai otoritas wakaf dan BI sebagai otoritas kebijakan makro ekonomi," kata kata dia.
Luthfi menjelaskan bahwa penyusunan WCP tidak bisa sekali jadi, tetapi ada beberapa tahapan. Di antaranya adalah tahap pembahasan dalam kelompok kerja internasional dan dengar pendapat masyarakat.
"Semester pertama tahun ini telah diadakan 3rd international working group on WCP di Yogyakarta. Nah, sekarang ini di Surabaya akan kita adakan seminar internasional wakaf, public hearing, lalu 4rd international working group," ujar Luthfi.
Deputi Gubernur BI Rosmaya Hadi mengatakan, Wakaf bisa mengatasi permasalahan kesenjangan ekonomi dan mengentaskan kemiskinan bila dikelola dengan baik. Namun sayangnya potensinya belum tergali secara maksimal.
Di antara indikator belum maksimalnya wakaf itu adalah bertambahnya penduduk miskin di Indonesia. Data Badan Pusat Statistika menyebutkan penduduk miskin di Indonesia per Maret 2017 mencapai 10,64 persen atau 27,77 juta jiwa.
Jumlah ini, kata dia, bertambah sebesar 6,90 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2016 yang sebesar 27,76 juta orang (10,70 persen). “Permasalahan kemiskinan seperti ini antara lain bisa diatasi dengan wakaf,” kata dia dalam Seminar Internasional Waqf Governance and Development, di Surabaya, Rabu (8/11).
Dia mengatakan bahkan wakaf beserta dana sosial keagamaan lainnya bisa mendukung berbagai program nasional yang terkait dengan kepentingan publik. Selain bisa dikelola menjadi rumah ibadah dan sarana pendidikan,wakaf juga bisa dan boleh dikelola menjadi aset-aset ekonomi yang menghasilkan keuntungan finansial.
Wakil Ketua Badan Pelaksana Badan Wakaf Indonesia Profesor Syibli Syarjaya mengatakan pendayagunaan wakaf lebih fleksibel sehingga bisa diarahkan untuk mendukung kepentingan nasional, seperti program pengentasan kemiskinan.
Hingga saat ini, menurut Syibli, sudah ada banyak aset-aset wakaf yang dikelola secara produktif dan menghasilkan keuntungan finansial. Keuntungan finansial itulah yang nantinya akan disalurkan oleh nazhir kepada masyarakat, baik dalam bentuk biaya operasional masjid, beasiswa, pengobatan gratis, pendidikan gratis, program pengentasan kemiskinan, pemberdayaan usaha kecil, maupun program-program sosial lainnya. “Sekarang tinggal bagaimana supaya gerakan wakaf ini semakin besar, massif, dan terarah,” tutur dia.
Anggota BWI Robbyantono menyatakan bahwa yang dibutuhkan a butuhkan saat ini bukanlah pengelolaan wakaf yang lebih modern, tetapi pengelolaan wakaf yang sesuai dengan konsep awal. “Dalam sejarahnya, wakaf itu lebih sebagai revenue center (penghasil pendapatan) daripada cost-center (pengeluaran),” kata Robbyantono.
Dalam pandangan Robyyantono, dia ingin agar dengan wakaf pendidikan menjadi gratis, berobat gratis, LIPI didanai dari wakaf, bahkan Bank Indonesia pun bisa saja didanai dari wakaf.