REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof KH Ma'ruf Amin menanggapi maraknya penolakan beberapa penceramah di daerah yang ramai diperbingkan akhir-akhir ini. Menurut dia, munculnya penolakan-penolakan tersebut harus dicari tahu penyebabnya.
Di samping itu, siapapun yang berceramah harus mempunyai batasan dan tidak asal menjelek-jelekkan kelompok lain agar tidak terjadi penolakan penceramah seperti itu. "Saya kira memnag itu tentu harus diusut sebabnya apa. Nah ini kan yang menjadi persoalan itu kan ada sesuatu yang harus disatukan. Jadi harus ada batasan juga karena kalau cermaah itu tanpa batas, menghantam kiri kanan, itu juga berbahaya kan," ujar Kiai Ma'ruf saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (8/11).
Ia menuturkan, semua pihak harus menyampaikan ceramahnya dengan santun agar tidak melukai pihak lainnya, sehingga persatuan umat Islam bisa tetap terjaga dan sesama umat Islam bisa hidup rukun. Bahkan, menurut dia, jika perlu, penceramah yang mendapat penolakan tersebut, harus membuat komitmen.
"Kita bagaimana membangun sistem cermaah yang santun, yang tidak melukai pihak lain. Nah itu barangkali yang harus dibuat komitmennya itu, sehingga tidak menimbulkan kemarahan pihak lain," ucapnya.
"Jadi itu ceramah kita harus dikelola dulu supaya jangan ada kesalahpamahan satu sama lain, saya kira itu barngkali," imbuhnya.
Selain itu, Kiai Ma'ruf juga menjelaskan, bahwa berkembangnya paham wahabi di Indonesia. Menurut dia, sebenarnya tidak menjadi masalah wahabi sebagai salah satu paham. Namun, kata dia, yang menjadi masalah saat proses pengwahabian itu dilakukan secara ektrem terhadap generasi bangsa.
"Kalau wahabi itu sebagai paham sebenarnya itu tidak menjadi masalah kan, tapi ketika proses pewahabian itu dilakukan demgan ekstrem maka menjadi masalah," kata Kiai Ma'ruf.