Senin 30 Oct 2017 14:58 WIB

Ini Bahaya, Guyon Lebih Diserap daripada Konten Ceramah

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Agus Yulianto
Ketua Rabithah Haji Indonesia, Ade Marfuddin.
Ketua Rabithah Haji Indonesia, Ade Marfuddin.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sering kali para dai menyelipkan guyon di setiap ceramah mereka, dan menimbulkan tawa. Ini akan berbahaya karena boleh jadi, guyonan itu lebih terserap ke memori ingatan, ketimbang konten ceramah.

Guyon memang menjadi salah satu cara ampuh agar ceramah tidak terdengar membosankan, untuk itu kode etik penyiaran dakwah, dirasakan pengamat haji Indonesia Ade Marfuddin Rabithah, perlu dibuat oleh Kementerian Agama (Kemenag).

"Kita kan sering lihat orang keluar dari pengajian, yang selalu diingat bukan pada konten ceramahnya, tapi justru pada ger-nya. Apa yang disampaikan penceramah membuat pendengar terbahak-bahak dan mengeluarkan tawa terlalu berlebihan," kata Ade kepada Republika.co.id, Senin (30/10) siang.

Ade juga mengajak masyarakat memperhatikan setiap penceramah, apabila tidak tawa, maka ia merasa rugi. Perbedaan antara penceramah dan pelawak itu harus betul-betul diperhatikan pada kontennya, yang mana penceramah, yang mana pelawak.

"Kalau pelawak kan memang dia pakemnya di lawak, kalau penceramah ya harus pada dimensi ceramahnya yang kuat. Penceramah harus menjadi seseorang yang bertutur kata baik, contoh yang baik, suri tauladan," ucap Ade.

Menurut Ade, canda memang diperbolehkan sebagai bumbu pada etika dakwah, tetapi bumbu yang dibolehkan adalah bumbu yang memberikan kemudahan orang untuk bisa mencerna. "Kalau ini kan, ada dai yang semua pembicaraannya dari awal sampai akhir orang mencari ger-nya aja yang ditangkap," kata Ade.

Menurut Ade, Kode Etik Penyiaran Dakwah Kemenag memang diperlukan lantaran banyak juga dai yang tidak ikut serta dalam lembaga Islam tertentu. Dan ini juga penting bagi MUI untuk mengundang para dai, disegarkan soal pengetahuan etika dakwah, dasar-dasar dakwahnya harus disampaikan.

"Metodologinya juga harus disampaikan. Karena dakwah pada saat ini kan juga berkembang, artinya sudah harus komunikatif, lebih punya bobot yang baik," kata Ade.

Karena, perkembangan teknologi media saat ini, seharusnya bisa menjadi dakwah yang mujarab, tetapi masih ada saja orang-orang yang mengundang penceramah yang banyak guyonnya, banyak casing tertawanya. "Oke lah tidak apa-apa misalnya banyak canda, tapi ada batasan-batasan etika yang harus muncul pada penceramah," papar Ade.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement