REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hujjatul Islam Imam al-Ghazali menjelaskan tujuh jalan untuk menuju Allah dalam bukunya Mi'rajus Salikin yang berarti perjalanan salik atau pencari kebenaran. Bagian keempat ada kemiripan dengan karya al-Ghazali Misykatul Anwar.
Bab ini membahas tentang cahaya dan berbagai tingkatannya. Ada cahaya yang menginspirasi dan memotivasi makhluk untuk semakin hidup. Ada juga cahaya yang mudah redup. Pancarannya mudah hilang. Ini bukan sumber, akan tetapi pancaran.
Cahaya paling tinggi adalah yang mutlak (an-nurul muthlaq). Ini adalah Allah ta'ala (al-Bari' ta'ala). Maknanya secara batin (ruhaniyah) lebih banyak bila dibandingkan makna yang dipahami akal. Organ spiritual itu berfungsi untuk menyingkap berbagai hakikat.
Karena mengetahui segala yang zahir dan batin, maka Allah disebut sebagai al- Haqqul Mubin atau kebenaran yang terang. Dia menyinari seluruh yang ada di alam, baik lahir maupun batin. Allah menjelaskan dalam Alquran sebagai cahaya yang menyinari langit dan bumi (nurus samawati wal ardh).
Kemampuan Ilahi menyinari semua hakikat menunjukkan kemandirian, yang tidak bergantung makhluk. Ciptaan apa pun tak dapat menyatu dengan-Nya. Argumentasi ini membantah anggapan Husein bin Manshur al-Hallaj yang banyak mengutarakan penyatuan Sang Pencipta dengan hamba atau hulul dan ittihad.
Pada posisi ini, al-Ghazali mendudukkan tasawuf tidak bertentangan dengan syariah. Bahwa jalan menuju Sang Pencipta harus berpijak pada hu kum-hukum yang ditetapkan. Makhluk tak mung kin mendekati Ilahi bila dia me ngaku beriman, apalagi mengaku sebagai kebenaran, seperti yang dikatakan al- Hallaj.
Pandangan al-Ghazali tersebut bukan hanya didasari pengetahuan yang didapat dari membaca buku. Lebih dari itu, sang imam terjun langsung dan merasakan dengan sendirinya seperti apa sufisme. Dia tuangkan perjalanan spiritualnya dalam kitab al-Munqidz minad Dhalal.
Di sini sang imam menjelaskan seperti apakah ilmu teologi (kalam) yang penuh dengan argumentasi dan mana yang lebih kuat sehingga layak dijadikan acuan. Kemudian seperti apakah falsafah yang di zamannnya dipelajari banyak orang. Kelemahan ilmu tersebut dijelaskan panjang lebar di dalamnya.
Pada bagian akhir, barulah al-Ghazali menjelaskan tentang sufisme yang menjadi penutup kisah hidup al-Ghazali. Bagian akhir ini penuh dengan inspirasi, karena sang imam menjelaskan perjalanannya dari kemasyhuran gemerlap dunia menuju spiritualitas yang hanya berupa kehidupan ala kadarnya. Tidak adalagi hal duniawi yang sarat harta dan tahta. Kehidupan hanya dipasrahkannya untuk menggapai Ilahi.
Sikap spiritual al-Ghazali semakin terlihat pada jalan kelima hingga ketujuh dari Mi'rajus Salikin. Pada bagian kelima, dia sedikit menegaskan kenabian Muham mad. Bahwa Rasulullah adalah nabi yang harus diimani. Di bab tersebut ada penjelasan mengenai tanda-tanda kenabian. Bab keenam menjelaskan mengenai hari kebangkitan. Kemudian terakhir adalah tentang kematian. Ini adalah bagian yang mungkin paling tidak mengenakkan.
Di saat manusia fokus membicarakan mengenai kehidupan dengan berbagai ilmu pengetahuan tentang hal tersebut, al-Ghazali justru menjelaskan tentang kematian yang pasti dihadapi semua yang ada di dunia ini. Akan lebih nikmat bila pembaca langsung memahami argumentasi sang imam di dalam kitab ini.