REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada masa Abbasiyah dijuluki masa keemasan dalam musik Islam. Musik wajib bagi setiap orang belajar, ditangani dengan beragam aspek-seperti keahlian, teori estetika, tujuan etika, dan terapi, pengalaman mistik, dan spekulasi matematika.
Artis diharuskan memiliki kemampuan teknis, daya kreatif, dan pengetahuan. Di antara seniman terbaik periode ini, yaitu Ibrahim al-Mawsili dan anaknya Ishaq. Mereka adalah keluarga Persia yang mulia dan kepala musisi pengadilan serta sahabat dekat dari khalifah Harun ar-Rasyid dan al-Ma'mun.
Abdurrahman al-Baghdadi menambahkan, sekolah musik yang paling sempurna dan teratur adalah yang didirkan oleh Said Abdul Mukmin. Sejarah telah mencatat bahwa pusat pabrik pembuatan alat-alat musik yang sangat terkenal ada di Kota Sevilla (Andalusia atau Spanyol).
Pada masa itu, cakrawala umat Islam juga diramaikan oleh biduan dan biduanita yang status umumnya adalah pelayan. Mereka ini bukan penyanyi bayaran yang disewa untuk setiap pertunjukannya. Merekalah yang bernyanyi untuk menghibur khalifah dan para penguasa lainnya di istana dan rumah mereka masing-masing. Setiap pelayan menghibur tuannya sendiri-sendiri.
Hasmy dalam Sejarah kebudayaan Islam menyebutkan salah satu sebab mengapa selama Dinasti Abbasiyah banyak berdiri sekolah musik adalah karena keahlian menyanyi dan bermusik menjadi salah satu syarat bagi pelayan (budak) pengasuh, dayang-dayang di Istana dan di rumah pejabat negara ata pun di rumah para hartawan untuk mendapatkan pekerjaan.
Di antara pelayan (jawari) atau biduan dan biduanita yang menjadi penyanyi di istana, yaitu Na'bad, al-Kharid, dua bersaudara Hakam dan Umar al-Wady, Fulaih bin Abi 'Auraa', Siyath,
Nasyith, Ibrahim Al Muasully, dan putranya, Ishaq al-Mausilly.