REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Oleh: Makmum Nawawi
Subuh itu, masjid di sebuah kampung listriknya padam. Untuk mene rangi masjid, jamaah menyalakan lilin. Ternyata lilin habis, tidak lama setelah wirid jamaah berakhir. Sementa ra, ma sih ada jamaah lain yang melanjut kan wirid pribadinya, termasuk imam. Ketika lilin padam, mentari pagi masih belum memperlihatkan wajahnya sehingga ruang masjid masih menyisakan gelap.
Di tengah kekhusyukan seba gi an jamaah yang melanjutkan wirid nya, tib a-tiba terdengar rengekan anak kecil. Sangat memelas. Anak berumur sekitar empat tahun itu memang sengaja dibawa sang ayah ke masjid kare na di rumahnya tidak ada siapa-siapa. Lantas ke mana ibunya atau istri dari orang itu? Istrinya baru meninggal bebe rapa hari yang lalu karena kom pleksitas pe nyakit yang dideritanya.
Rupanya sang ayah yang memang mudawamah berjamaah, tidak nyaman meninggalkan anaknya seorang diri di rumah. Akhirnya dia terus menyertakan buah hatinya tiap kali shalat Subuh ke masjid. Sedang Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya bisa dititipkan ke nenek nya yang tidak jauh dari rumahnya. Sang anak pun menjadi terbiasa dengan suasana shalat jamaah di mas jid. Namun, tak urung kadang rengekannya tak bisa dihindari. Beda nya, dulu dia biasa bermanjamanja kepada ibunya di rumah.
Kini, dia menangis dan merebah kan tubuhnya pada pagi buta di pang kuan ayahnya, di masjid. Se hing ga ia tidak bebas seperti di ru mah, karena dilihatnya banyak orang, selain ayahnya.
Tiap kali anak itu merengek, me nangis dengan memelas, hati sang imam tersayat. Air matanya pun tak bisa lagi ditahan, menetes. Bukan hanya karena memorinya me lesat ke empat puluh delapan ta hun yang lalu, saat ia ditinggal mati sang ayah kala berusia tiga ta hun. Namun, juga terbayang derita seorang anak yang ditinggal mati ibu atau bapaknya. Secara material, boleh jadi ada di antara mereka yang kebutuhannya terpenuhi.
Namun, secara psikologis, sungguh tidak ada yang bisa menggantikan posisi kedua orang tuanya. Tidak ada lagi yang dengan tulus membelai rambutnya, memandikannya, memeluk dan mendekapnya, mendengar cerita dan keluhannya, memanjakan dirinya, mengemongnya, menghi burnya, me ngajaknya makan di luar, membawanya rekreasi, mem belikannya baju Lebaran, menyisir rambutnya yang kusut masai, menggendongnya, mengantarnya sekolah, menyambutnya pulang dari sekolah dengan hangat.
Maka sangat pantas jika pe nyantun dan penjamin anak yatim (yang men dudukkan dirinya se bagai orang tua bagi mereka) dibe rikan balasan yang besar dari Allah, yaitu surga (al-Insan [76]: 8-22), dan di surganya itu pun berde kat- de katan dengan Nabi seperti kede katan jari tengah dan jari te lunjuk.
Nabi juga bersabda: "Rumah terbaik di kalangan kaum Muslimin adalah rumah yang di dalamnya ada anak yatim yang diperlakukan dengan baik, dan rumah terburuk adalah rumah yang di dalamnya ada anak yatim yang diperlakukan dengan buruk. Ana dan penjamin anak yatim berada di surga seperti ini (beliau mengisyaratkannya de ngan jari jemarinya)" (HR Bukhari).
Orang yang bisa menyelami penderitaan anak yatim, lalu membantunya, adalah sifat orang yang berkarakter mulia, yang ingin menghilangkan kekerasan hatinya, seraya menghaluskannya. Suatu hal yang menjadi sifat calon ahli surga. Dan mereka juga sebenar nya adalah orang-orang yang ber jasa dalam menata masyarakat yang terbebas dari sifat iri, dengki, dan keji, lalu mengisi dan mewarnainya dengan spirit cinta dan kasih sayang.