REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Negara, ungkap Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah, adalah penyelenggara ekonomi yang paling utama. Berlandaskan nilai-nilai Alquran, karakter perekonomian Islam memiliki komitmen tinggi terhadap keadilan dan pemerataan kesejahteraan. Sejarah mencatat, para pemimpin Islam dari masa ke masa telah melakukan berbagai upaya menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Implementasi sistem ekonomi Islam pada masa Rasulullah SAW mulai dilaksanakan pada masa Madinah. Salah satu upaya pemerataan kesejahteraan yang dilakukan pada masa Rasulullah adalah dengan mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar.
Kebijakan itu menempatkan setiap satu orang Anshar bertanggung jawab atas saudaranya, Muhajirin. Dengan cara itu, terjadilah distribusi pendapatan di antara kedua golongan kaum Muslim. Kaum Muhajirin yang sampai di Madinah dalam kondisi papa dipertemukan dengan kaum Anshar yang sudah mapan secara ekonomi.
Kita ingat satu kisah, ketika Abdurrahman bin Auf tiba di Madinah, ia dipersaudarakan dengan Sa'd bin ar Rabi'. Sa'ad berkata, "Aku termasuk orang Anshar yang mempunyai banyak harta. Harta itu akan kubagi dua, setengah untuk Anda dan setengah untuk aku." Tapi, Abdurrahman meminta kepada Sa'd untuk ditunjukkan lokasi pasar.
Ia menjalankan aktivitas ekonomi dengan cara berdagang di pasar. Kedua kelompok saling memenuhi kebutuhan dan bekerja sama dalam menjalankan perekonomian. Perluasan produksi dan perdagangan ini menghasilkan peningkatan sumber daya tenaga kerja, lahan, dan modal.
Sumber daya alam yang strategis dikuasai negara untuk kepentingan umum. Dikisahkan dalam sebuah hadis oleh Imam Muslim, pada masa Rasulullah, Kota Madinah pernah mengalami paceklik dan kesulitan air bersih. Satu-satunya sumur yang masih mengalir adalah sumur milik seorang lelaki Yahudi. Masyarakat harus antre mendapatkan air dari sumur tersebut.
Yahudi pemilik sumur melakukan monopoli dan menjual air sumur dengan harga tinggi. Kondisi ini membuat Rasulullah resah. Beliau kemudian menawarkan kepada para sahabat untuk membeli sumur tersebut. Adalah Utsman bin Affan yang membeli sumur milik Yahudi senilai 20 ribu dirham, kemudian mewakafkannya. Setelah itu, semua penduduk Madinah, termasuk orang Yahudi, dapat memanfaatkan air secara cuma-cuma.