Sabtu 19 Aug 2017 03:04 WIB
Pesantren 'Nomaden' Cipadung, Kota Bandung

Cetak Generasi Literasi dari Sebuah Keperihatinan

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Pendiri Pesantren Al Kasyaf
Foto: Republika/Arie Lukihardianti
Santri yangg rumah kontrakannya tak diperpanjang dan tidur di kontrakan temannya.

Pengiat literasi cetak 300 judul buku

Belum lama ini, kata dia, pesantrennya mendapatkan kunjungan dari Amerika, Perancis, Thailand, Malaysia, dan Turki. Perwakilan dari negara tersebut, datang ke Al Kasyaf untuk melihat proses pembelajaran di pesantren tersebut.

"Mereka pada aneh, hanya dengan 3 unit komputer kami bisa membuat ratusan buku. Senengnya, kita tak terlalu megah tapi bisa dianggap oleh negara lain," kata Gio seraya mengatakan, perwakilan penggiat literasi dari kelima negara tersebut mengetahui pesantrennya dari media sosial.

Saat ini, kata Gio, santrinya telah membuat 300 judul buku. Karena, di pesantrennya Ia mengajarkan program sabu-sabu (Satu bulan satu buku). Semua santri, selain mendapatkan pendidikan agama islam, pendidikan formal dan kepesantrenan juga diajarkan keahliaan menulis buku.

"Walaupun belajar kami ngampar (lesehan,red) tak ada kursi. Tapi, kami cukup produktif membuat buku. Ini jadi bekal buat anak-anak nanti," katanya.

Berbeda dengan pesantren yang lain, kata dia, konsep pesantrennya memang pesantren literasi. Kemungkinan, ini pertama di Indonesia. Ia membuat konsep ini, karena Kebetulan literasi di Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara.

"Mudah-mudahan kami bisa bantu masyarakat Indonesia agar lebih melek literasi," katanya.

Demi totalitasnya mengurus panti, menurut Gio, Ia pun rela melepaskan profesinya menjadi dosen di lima perguruan tinggi. Saat ini, Ia fokus mengelola dan mengajar panti asuhannya dengan dibantu para relawan. Karena, pengajar di pesantrennya rata-rata tak rutin mendapatkan gaji.

Dikatakan Gio, Ia fokus pada pada pesantren karena sejak kecil menjadi anak yatim dan sempat menjadi anak jalanan selama 15 tahun. Ia pun, sering merasakan bagaimana di bully. Ia berharap, dengan menjadi ayah bagi anak-anak yatim itu bisa menyelamatkan generasi muda dari generasi yang lemah.

"Walaupun dengan kekuatan sedikit. Walaupun sederhana tapi sekarang saya sudah menhidupi 100 orang. Dulu, saat saya jadi dosen hanya menghidupi 5 orang saja," katanya.

Menurut salah seorang santri Al Kasyaf, Gilang Ramadhan (12 tahun) warga Arjasari Kabupaten Bandung, Ia senang bisa belajar menulis di pesantrennya. Walaupun, sering kali harus sedih dan bingung kalau harus pindah kontrakan. Karena, harus terus bebenah.

"Sedih kalau pindah kontrakan terus. Mudah-mudahan nanti ada tempatnya nggak harus pindah," katanya. N Arie Lukihardianti

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement