Sabtu 19 Aug 2017 03:04 WIB
Pesantren 'Nomaden' Cipadung, Kota Bandung

Cetak Generasi Literasi dari Sebuah Keperihatinan

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Pendiri Pesantren Al Kasyaf
Foto: Republika/Arie Lukihardianti
Pendiri Pesantren Al Kasyaf

REPUBLIKA.CO.ID, "Pindah-pindah kontrakan, hidup nomaden bagi kami sudah biasa. Ya, kayak kaum gipsy. Tapi, kami ingin memberi contoh tanpa lahan pun bisa menjadikan anak lebih cerdas dan masa depannya lebih baik,"

Di sebuah kompleks perumahan cukup elit di kawasan Cipadung-Kota Bandung. Tepatnya, di Komplek Vijaya kusuma blok A21 Cipadung Cibiru, tak jauh dari gerbang kompleks, terdapat sebuah rumah yang cukup bagus. Di depan rumah, terdapat sebuah baligo besar bertuliskan Panti Asuhan Al Kasyaf. Sekilas, tak ada yang berbeda dengan panti yang lainnya.

Bahkan, mungkin semua masyarakat sekitarnya tak akan ada yang tahu kalau Panti Asuhan yang didirikan pada 2 Juni 2013 itu menyimpan sejumlah keperihatinan. Karena, kondisi rumah anak yatim piatu dan dhuafa itu memang cukup layak. Bahkan, terdapat dua kendaraan operasional terparkir di garasi panti. Kendaraan itu pun hasil sumbangan para dermawan.

Keperihatinan anak-anak itu, akan kita rasakan kalau kita masuk ke dalam bangunan panti dan menyelami kehidupan anak-anak yang mayoritas berusia ABG (anak baru gede,red) itu. Kita bahkan, akan merasakan kegetiran.

Karena ternyata, bangunan kokoh yang dijadikan tempat bernaung oleh puluhan anak yatim tersebut ternyata sebuah rumah sewaan. Setiap tahun, pengelola panti harus memutar otak mencari uang untuk membayar sewa.

Pengelola panti asuhan, mengontrak tujuh rumah di lokasi yang berdekatan untuk menampung sekitar 80 anak yatim piatu dan dhuafa. Mereka, rata-rata berusia 11 hingga 18 tahun. Satu rumah, dihuni sekitar 15 hingga 20 orang dengan satu kamar mandi. Bahkan, salah seorang santriwati menyulap kamar mandi menjadi kamar tidur. Padahal, sebuah pemanas air masih menempel di dinding kamar mandi itu. Namun, santriwati tersebut terlihat nyaman tidur di kamar mandi dari pada harus tidur berdesakan dengan temannya.

Hampir semua anak santri, tidur di atas kasur busa lepet. Kasur memang menjadi barang mewah bagi mereka. Saat ada donatur menyumbang 30 kasur busa, para santri pun harus rela membiarkan hanya anak yatim piatu saja yang mendapatkan jatah kasur. Karena, anak yatim piatu memang diprioritaskan untuk mendapatkan kenyamanan di panti.

Tak hanya itu saja, anak-anak panti pun harus siap 'mengungsi' terusir dari rumah kontrakan satu ke kontrakan lainnya, kalau ternyata si pemilik rumah tak mau menyewakan rumahnya lagi. Tak jarang, pengelola panti kesulitan mencari rumah kontrakan baru untuk anak-anak tersebut. Karena, pemilik rumah khawatir bangunan rumahnya akan menjadi kumuh kalau dihuni oleh si yatim.

Harus terusir dari kontrakan, beberapa waktu lalu dirasakan kembali oleh anak panti. Karena, salah satu rumah yang dijadikan tempat untuk tidur dan beraktivitas, tak dikontrakan lagi oleh pemilik rumah. Biasanya, pengelola panti harus membayar uang kontrakan Rp 9 juta per tahun. Karena terusir, pengelola harus mengontrak rumah yang tarif setahunnya Rp 25 juta. Untung lah, ada orang yang dermawan mau menginfakkan uangnya. Sehingga, anak-anak yang 'terusir' dari tempat tinggalnya, bisa memiliki tempat baru.

"Pindah-pindah kontrakan, hidup nomaden bagi kami sudah biasa. Ya, kayak kaum gipsy. Tapi, kami ingin memberi contoh tanpa lahan pun bisa menjadikan anak lebih cerdas dan masa depannya lebih baik," ujar Pendiri Pesantren Al Kasyaf, Dr Giovani Van Rega, kepada Republika.co.id, Selasa (15/8).

Menurut Giovani, sebenarnya pesantren ini didirikan karena ingin mengkritik atas tiga hal. Pertama, kritik terhadap lembaga yang ada karena banyak yayasan yang 'menjual' anak yatim dan dhuafa. Padahal, sebenarnya mereka tak diberdayakan. Kedua, ini kritik pada pesantren atau lembaga pendidikan yang sering mencetak lulusan tapi out put-nya tak punya produk.

"Di sini setiap bulan kami punya produk buku yang dibuat oleh anak panti," katanya.

Ketiga, kata dia, pesantren ini kritik pada siapa pun yg ingin membuat lembaga pendidikan. Karena, kita bisa membuat lembaga pendidikan dengan tempat yang kecil dan mudah.

"Walaupun kami ngontrak, tapi kami bisa meng-internasional," katanya.

Giovani mengatakan, untuk menampung 80 santri, Ia mengontrak tuju rumah yang berdekatan. Harga sewa pertahunnya, ada yang Rp 9 juta hingga Rp 20 juta. Ia mengaku, memang kesulitan mencari tempat tinggal untuk anak-anak pantinya. Karena, awalnya Ia hanya menerima 6 orang anak saja. Namun, setelah tiga tahun jumlah santrinya terus bertambah hingga 80 orang. Bahkan, mulai masuk anak berusia 5 tahun dan 10 bulan.

"Saya tak tega kalau harus menolak anak yang datang. Sekarang yang waiting list saja ada 150 anak," kata pria yang telah bergelar doktor di bidang agama Islam itu.

Menurut Gio, mengontrak rumah untuk panti asuhan memang risikonya cukup banyak. Karena, pembayaran uang kontrakan untuk 7 kontrakan tersebut berbeda. Setiap saat, Ia harus memikirkan uang sewaan.

"Kemarin pas kontrakannya ga dikontrakan lagi, anak-anak juga khawatir. Tapi saya bilang ke mereka kita tak boleh sedih kehidupan mah sudah ada yang ngatur mudah-mudahan kami bisa menginspirasi banyak orang," katanya.

Gio mengatakan, Ia selalu mengajarkan anak-anak yang mondok di pesantrennya untuk hidup perihatin. Baginya dan anak-anak, kasur itu barang mewah. Jadi, mendapatkan bantuan 30 kasur dari dermawan harus diatur agar tak ada yang sedih. Yakni, dengan mengutamakan anak yatim dulu.

"Tapi alhamdulilla, walaupun kami hidup perihatin. Anak-anak kami, sudah mengharumkan Indonesia agar dikenal di 5 negara," katanya.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement