Rabu 16 Aug 2017 21:43 WIB
Belajar Kitab

Kerinduan Manusia Dekat dengan Allah

Rep: Erdy Nasrul/ Red: Agung Sasongko
Tobat/Ilustrasi
Foto: Republika/Prayogi
Tobat/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Meski ditulis sembilan abad lalu, Futuhul Ghayb tetap relevan untuk dibaca masyarakat saat ini. Pesan sufistik di dalamnya menjadi embun penyejuk kehidupan kini yang terasa panas dengan industrialisasi dan kemodernan. Petuah bijak Sulthanul Awliya hadir sebagai bentuk kerinduan manusia untuk kembali dekat dengan Allah, pencipta alam beserta isinya.

Futuhul Ghayb juga menceritakan kisah kekasih Allah. Mereka adalah para nabi dan juga wali. Di dalamnya ada penggalan kisah Nabi Yusuf, Daud, Muhammad SAW, Abu Yazid al-Busthami, dan lainnya. Namun, terlepas dari itu semua, Syekh Abdul Qadir juga mengarahkan kita untuk lebih dekat mengenal Sang Pencipta.

Konten seperti itu sangat jarang ditemukan dalam tradisi keilmuan sekuler yang cenderung keduniaan dan kekinian. Psikologi modern, misalnya, meskipun membahas kepribadian tokoh hebat semisal William James, Abraham Lincoln, dan banyak lagi, tapi tidak mampu mengungkap kedekatan dan rasa bahagia bersama Sang Pencipta. Kajian psikologi humanistik Abraham Maslow (1908-1970) misalnya, hanya sampai kepada aktualisasi diri ataupun pengalaman puncak yang hanya menggambarkan keintiman dengan alam. Sifatnya pun hanya sesaat.

Sedangkan, masyarakat dari berbagai zaman pasti menginginkan kebahagiaan yang tidak temporal. Mereka menginginkan kedekatan yang mampu melahirkan jiwa-jiwa saleh sehingga mampu membangun masyarakat madani. Kebahagiaan seperti itu hanya bisa ditempuh melalui jalur sufistik, seperti yang diarahkan Syekh Abdul Qadir. Sufisme hadir dan akan selalu dikaji.

Dia akan senantiasa menggema. Syiarnya merasuki ruang-ruang kosong kehidupan duniawi untuk menyadarkan manusia, bahwa hidup ini harus disikapi dengan kehati-hatian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement