Jumat 11 Aug 2017 21:15 WIB

Wajib Militer Ala Peradaban Besar Dunia

Ilustrasi pasukan Romawi.
Foto: BBC
Ilustrasi pasukan Romawi.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Sistem wajib militer juga pernah diterapkan pada zaman Republik Romawi (509 -27 SM). Ketika itu, seluruh penduduk laki-laki berusia antara 17 dan 60 tahun yang memenuhi persyaratan diharuskan menjadi milisi warga (militia) pada masa-masa darurat, dengan tanpa bayaran sepeser pun. Warga negara yang tidak menaati aturan ini bakal dipenjara dan barang-barangnya juga disita oleh negara.

Pada 107 SM, Gaius Marius yang kala itu menjabat sebagai konsul melakukan reformasi terhadap angkatan bersenjata Republik Romawi. Banyaknya operasi militer dan perang yang menyebabkan negara itu kekurangan tentara. Sementara, sebagian besar prajurit Garnisun harus menjaga provinsi-provinsi yang sudah ditaklukkan, sehingga tidak bisa pulang selama bertahun-tahun.

Sebagai solusi, Marius kemudian mencetuskan gagasan untuk merekrut warga-warga miskin yang tidak memiliki tanah untuk menjadi tentara sukarela. Reformasi yang dilakukan Marius cukup memecahkan masalah ketentaraan Romawi pada masa-masa tersebut. Hal itu dikarenakan jumlah warga miskin yang mendaftar menjadi tentara sukarela ini ternyata cukup banyak dan mampu menutupi jumlah permintaan tentara baru.

Awalnya, hanya warga negara Romawi yang memiliki kesempatan berkarier di militer. Namun, aturan tersebut belakangan menjadi sedikit lebih longgar sejak dibukanya lowongan tentara sukarela.

“Warga dari beberapa sekutu Italia seperti Etruria, Picenum, dan lain-lain, juga berhak mendapatkan kewarganegaraan Romawi asalkan mereka bersedia menjadi tentara sukarela hingga akhir masa ikatan dinasnya,” kata sejarawan, Patricia Southern, menerangkan dalam buku The Roman Army: A Social and Institutional History (2007).

Masa ikatan dinas setiap tentara sukarela adalah selama 16 tahun. Namun, ketika negara Romawi berubah bentuk menjadi kekaisaran, Kaisar Octavianus Augustus memperpanjangnya menjadi 20 tahun.

Pada zaman Cina Kuno, wajib militer besar-besaran pernah diterapkan pada masa Dinasti Qin (221-206 SM). Catatan sejarah menunjukkan, dari total 800 ribu orang yang dilibatkan dalam pembangunan Tembok Besar Cina pada masa itu, sebanyak 300 ribu di antaranya adalah kaum buruh yang dipaksa mengikuti wajib militer.

“Tidak hanya memeras keringat kaum buruh, pemerintah Dinasti Qin juga memungut pajak secara masif dari para petani untuk membiayai proyek pembangunan tembok tersebut,” ungkap penulis senior Cina kelahiran AS, Sidney Shapiro, dalam buku The Underground Terracotta Army of Emperor Qin Shi Huang.

Negara-negara kota atau polis pada zaman Yunani Kuno (abad ke-8 hingga ke-4 SM) seperti Sparta dan Athena, juga mewajibkan para pemuda untuk mengikuti wajib militer. Modelnya pun hampir mirip dengan militia yang dipraktikkan oleh Romawi. Bedanya, ada semacam pembagian kelas pada wajib militer ala Yunani.

Khusus untuk pasukan bersenjata berat di kavaleri atau infanteri (hoplite army), diisi oleh orang-orang yang berasal dari golongan kelas atas. Sementara, untuk pasukan bersenjata ringan dan angkatan laut, direkrut dari kalangan masyarakat kelas bawah alias miskin.

“Beberapa polis bahkan ada yang memanfaatkan budak sebagai prajurit. Tugas mereka antara lain adalah mengayuh kapal perang saat mengarungi lautan,” kata sejarawan asal Inggris, Geoffrey EM de Ste Croix, dalam The Class Struggle in the Ancient Greek World.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement