REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekuatan militer mutlak dibutuhkan sebuah negara. Apalagi, sektor ini memiliki fungsi vital, yakni sebagai alat pertahanan dari berbagai ancaman kedaulatan, baik yang datang dari dalam maupun luar. Oleh karena itu, beragam kebijakan dilakukan pemerintah untuk memperkuat kapasitas militernya.
Salah satunya adalah melalui program wajib militer (wamil) yang ditujukan kepada masyarakat sipil. Wajib militer sendiri bukanlah barang baru dalam sejarah peradaban. Kebijakan tersebut sudah ada sejak berabad-abad yang lampau.
Arkeolog Nicholas Postgate dalam buku Early Mesopotamia Society and Economy at the Dawn of History (1992) menuturkan, praktik wajib militer setidaknya sudah diterapkan sejak zaman Babilonia. Pada masa pemerintahan Hammurabi (1791-1750 SM), negeri Mesopotamia itu menggunakan sistem wajib militer yang disebut ilkum.
Di bawah sistem tersebut, setiap orang yang dianggap memenuhi syarat, diwajibkan bergabung dengan tentara kerajaan pada masa-masa perang. “Namun, ketika tidak ada perang, mereka malah diminta menjadi tenaga kerja untuk melayani kegiatan-kegiatan lainnya oleh negara,” tulis Postgate.
Sebagai imbalannya, kata dia, setiap warga yang tunduk terhadap aturan ilkum ini memperoleh hak untuk memiliki tanah yang telah disediakan negara. Meski demikian, pada masa itu ada juga warga yang enggan mengikuti wajib militer. Di beberapa wilayah, banyak orang Babilonia meninggalkan kota kelahirannya hanya untuk menghindari ilkum.
Sejak keluarnya Undang-Undang Hammurabi (Code of Hammurabi) pada 1754 SM, segala bentuk pengabaian ilkum dianggap sebagai tindakan yang melawan hukum. “Berbagai bentuk penghindaran wajib militer akan dicatat oleh Negara, dan mereka yang melanggar aturan tersebut akan dikenakan hukuman,” ujar Postgate.