Jumat 28 Jul 2017 08:04 WIB

Bilal bin Rabah dan Kekuatan Iman

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Ilham Tirta
Masjid Nabawi, ilustrasi
Foto:

Saat mendekati Kabah, Rasulullah SAW memerintahkan Bilal bin Rabah untuk menyeru kepada sekalian penduduk Makkah di sana. Kemudian, Bilal mengumandangkan azan. Suaranya segera menggetarkan hati setiap orang

Makkah. Orang-orang yang ada iman di dalam dadanya mengulang setiap lafaz azan yang sampai kepada mereka. Itulah pula tanda kemenangan Islam atas zaman Jahiliyah.

Masa-masa kemenangan terus berlanjut. Namun, Allah berkehendak lain. Beberapa tahun setelah penaklukkan Makkah, kondisi fisik Rasulullah SAW mulai memburuk. Setelah haji wada, sakit Rasulullah SAW kian jelas. Akhirnya, beliau menghembuskan nafas terakhirnya.

Seluruh kaum Muslim berduka cita. Bahkan, Umar bin Khaththab sempat mengingkari kepergian Rasulullah SAW untuk selamanya hingga Abu Bakar harus menenangkannya. Saat jasad Rasulullah SAW akan dimakamkan, Bilal

bin Rabah berdiri untuk mengumandangkan azan. Tiba di lafazh 'Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah' suaranya terbata-bata. Kesedihan menguasai dirinya. Segenap kaum Muslim menangis. Sosok mulia

yang teramat dicintai itu telah meninggal dunia.

Sebuah riwayat menyebutkan, Bilal bin Rabah semenjak wafatnya Rasulullah SAW hanya dapat melakukan azan tiga hari. Sebab, setiap sampai pada lafazh 'Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah', ia selalu tersungkur dan menangis. Siapapun Muslim yang mendengarkannya, juga akan turut terbawa suasana. Terkenang lagi

bagaimana saat-saat Rasulullah SAW masih ada di tengah kaum Muslim.

Sedemikian sedihnya Bilal akan kehilangan Rasulullah, sampai-sampai dia sempat meminta izin kepada khalifah agar boleh pergi dari Madinah. Sebab, kenangan-kenangan akan tetap menghantuinya.

Sampailah hari ketika Rasulullah SAW mendatangi Bilal bin Rabah melalui mimpi. Nabi Muhammad SAW berkata kepadanya, 'Wahai Bilal, mengapa engkau tidak pernah menjengukku lagi?' Terhenyak. Begitu terbangun, Bilal bagaikan terpukul lantaran kata-kata Rasulullah SAW itu. Ia segera pulang ke Madinah.

Kedatangan Bilal bin Rabah diterima dua cucu Rasulullah SAW, Hasan dan Husain. Keduanya lantas meminta agar Bilal mengumandangkan azan begitu waktu shalat tiba. Inilah saat-saat yang teramat dirindukan segenap warga Madinah. Kota itu seakan-akan diliputi kebisuan. Hanya suara azan Bilal yang menggema ke segala penjuru. Betapa terkesimanya mereka karena merasa zaman kembali berputar, seperti ketika masih bersama

Rasulullah SAW.

Seluruh orang keluar dari rumah masing-masing. Tangis pun pecah mengiringi usainya azan dari lisan Bilal bin Rabah. Bagaimanapun, perasaan Bilal masih belum kuasa untuk tetap tinggal di Kota Nabi. Hanya beberapa hari di sana, Bilal bin Rabah pun pergi ke Damaskus.

Suatu saat, Umar bin Khaththab melintasi wilayah Suriah. Di kota itu, sang khalifah bertemu dengan Bilal bin Rabah. Ia bersyukur menjumpai sosok yang lama meninggalkan Madinah itu dalam keadaan sehat. Satu permintaan dari Khalifah Umar, yakni agar Bilal mengumandangkan azan. Ia sungguh-sungguh merindukan suara azan, sebagaimana di zaman Rasulullah SAW hidup. Tidak kuasa, Umar bin Khaththab menangis lantaran mengingat kenangan-kenangan bersama Nabi SAW begitu mendengarkan lantunan azan dari lisan Bilal.

Sampai ajal menjemputnya, Bilal bin Rabah menetap di Damaskus. Ia wafat pada tahun 20 Hijriah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement