REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam bukanlah agama yang tumbuh dari lingkungan periferi atau perdesaan. Sebaliknya, risalah ini awalnya muncul di Makkah, sebuah kota urban di Jazirah Arab. Sebagaimana pusat-pusat perniagaan lainnya, Makkah terbuka bagi siapa saja dari berbagai penjuru.
Dalam istilah sejarawan UGM, Prof Kuntowijoyo (wafat 2005), Makkah di zaman Nabi Muhammad SAW termasuk kategori kota-kota praindustrial abad ketujuh Masehi. Lebih tegas lagi, orientalis Inggris, Clifford Edmund Bosworth, dalam buku Historic Cities in the Islamic World (2007) menyebut, Islam merupakan agama dengan kecenderungan yang tinggi pada budaya urban.
Masyarakat perkotaan pada umumnya cenderung lebih menerima pemikiran dan sikap egalitarian.Oleh karena itu, wajar kiranya penduduk kota-kota Arab menerima Islam.
Meskipun pada mulanya Rasulullah SAW dan para sahabat mendapat resistansi yang hebat, kesulitan-kesulitan itu lebih merupakan upaya kalangan elite musyrikin yang merasa cemas akan kehilangan status quo.
Islam menegaskan, semua manusia setara di hadapan Allah. Pembedanya bukan pada soal harta atau kedudukan sosial, melainkan derajat ketakwaan di sisi Allah.
Dalam pandangan dunia egalitarian demikian, peradaban Islam berkembang amat pesat. Kota-kota tumbuh bukan hanya sebagai pusat perdagangan atau kekuasaan politik, melainkan juga ilmu pengetahuan. Tonggak awal yang signifikan terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab.
Dalam masa itu, dua raksasa Timur Tengah, yakni Romawi (Byzantium dan terutama Roma) dan Persia, justru sedang melemah karena dinamika dalam negeri masing-masing. Hubungan politik antarwilayah pun terus memburuk.
Di utara, Romawi Timur terus menggangu perbatasan, hal mana telah mencuat sejak pembebasan Makkah (fath Makkah) oleh Rasulullah. Sementara itu, dari arah timur-laut penguasa Dinasti Sassanid-Persia kerap memicu provokasi di daerah perbatasan dengan Muslim. Khalifah Umar tidak tinggal diam. Berbagai ekspedisi militer berlangsung.
Hasilnya, selama 10 tahun masa peme rintahannya (634-644) Khalifah Umar telah berhasil menaklukkan wilayah Romawi Timur (Mesir, Suriah, Anatolia Timur, dll) dan jantung imperium Sassanid-Persia. Walaupun begitu, Khalifah Umar tidak pernah memaksakan Islam kepada selu ruh penduduk negeri-negeri taklukan. Se jarawan, Tamim Ansary, dalam buku Des tiny Disrupted: A History of the World Through Islamic Eyes(2009) menjelaskan, tidak ada sama sekali pindah agama di ba wah ancaman pedang dalam masa tersebut.
Satu peristiwa yang menandakan tingginya nilai toleransi itu adalah pem bebasan Yerusalem, Palestina, pada 637. Alih-alih meruntuhkan pusat-pusat per adaban lama, sang khalifah lebih suka memudahkan kehidupan sosial yang telah terjalin di sana. Misalnya dengan mulai menerapkan sistem birokrasi, sehingga kendali pemerintahan dari Madinah dapat berlangsung efektif.
Begitu stabilitas politik mendukung, kota-kota dalam wilayah kekhalifahan Islam bermetamorfosis menjadi pendukung keberlanjutan peradaban. Buku Historic Cities in the Islamic World (2007) sedikitnya merangkum sebanyak 83 kota yang berkembang maju sejak abad kedelapan berkat kedatangan Islam.
Kota-kota ini terbentang dari Marrakesh (Maroko) dan Timbuktu (Mali) di barat hingga Dakka (Bangladesh) dan Malaka (Indonesia) di timur. Seterusnya, dari Sarajevo (Bosnia) dan Kazan (Rusia) di utara hingga Mombasa (Kenya) dan Zanzibar (Tanzania) di selatan. Uraian di bawah ini ha nya berfokus pada kota-kota yang terkenal sebagai mercusuar aktivitas intelektual.