REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagaimana sulap, ramalan-ramalan juga telah menjadi komoditas di ranah bisnis hiburan. Setidaknya, beberapa majalah remaja populer kerap menyertakan rubrik horoskop untuk menjabarkan 'perkiraan' nasib orang-orang berdasarkan tanggal kelahirannya.
Dr Yusuf al-Qaradhawi dalam kitabnya, Fatwa Kontemporer Jilid II, men jelaskan betapa percaya pada ramalan bintang melalaikan Muslim dari keimanan kepada Allah.
Menurut al-Qaradhawi, Islam menganggap buruk sejumlah perkara yang dikembangkan kaum jahiliyah, semisal sihir, perdukunan, ramalan nasib, ramalan bintang (astrologi), atau praktik-praktik lainnya yang meminta pertolongan kepada jin atau setan.
Alquran surah an-Naml ayat 65 telah menegaskan, Katakanlah: 'Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang me ngetahui perkara yang gaib, kecuali Allah', dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.
Islam menolak pandangan bahwa sega la yang terjadi pada manusia, baik itu ke malangan atau nasib senang, ada hubung annya dengan bintang-bintang di langit.
Dalam hadis riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah, Rasulullah bersabda, Barang siapa mengambil sepotong dari ilmu nujum (ramalan perbintangan), maka berarti dia mengambil sepotong dari ilmu sihir. Bertambah ilmu nujumnya, bertambah pula sihirnya.
Tentu saja, ilmu-ilmu benda-benda langit yang bertujuan sains, seperti navigasi, penentuan arah kiblat atau awal waktu Ramadhan dan sebagainya, tidak termasuk ke dalam larangan ini. Singkatnya, Islam telah menggariskan, hanya Allah yang tahu dan menentukan nasib-nasib manusia atau perkara gaib lainnya.