REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Karena menjadi bagian ritual penyucian, sihir dan para penyihir lebih dipandang selaku pelindung. Mereka dianggap mampu menunjukkan cara-cara yang dengannya masya rakat terhindar dari amarah para dewa. Para penyihir dipercayai menghindarkan masyarakat dari roh ja hat, baik yang bersemayam dalam diri manusia maupun yang berkeliaran di alam.
Akan tetapi, pemaknaan ini kemudian terjerumus ke dalam eksesnya. Sebagaimana ulasan Eusebe de Salverte, para penyihir kemudian menjadi pemberi legitimasi bagi penguasapenguasa lalim. Mereka merasa dirinya di atas hukum. Apa pun perintah mereka dianggapnya titah langsung dari para dewa.
Praktik-praktik sihir kemudian meluas karena tidak hanya di lingkup ritual vertikal-transenden yang bertujuan para dewa. Itu juga menyasar orang-orang yang tidak disukai rezim atau diidamkannya. Ketika sudah begitu, sihir di masa kuno itu tidak jauh berbeda daripada praktik-praktik perdukunan jahat era kini, semisal teluh, santet, atau pesugihan.
Seligmann (1948) menulis, Beberapa tukang sihir percaya bahwa mereka punya pandangan mata iblis. Dengan itu, mereka bisa membunuh hanya dengan menatap tajam ke korbannya.
Mereka juga membuat gambaran (boneka) yang kemudian mereka bakar atau tusuk-tusuk, tergantung bagaimana mereka mau menyakiti korbannya. Para penyihir juga merapalkan mantra-mantra tertentu sambil menyiksa boneka korban itu.
Sampai di sini, wajah sihir tidak lagi sebatas ritual-ritual kepercayaan tertentu. Melainkan justru alat kekerasan secara tidak langsung. Sihir kemudian tidak lagi melawan iblis-iblis yang bersemayam di dada manusia atau alam, tapi malah berkongsi dengan mereka.