REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tepat pada 5 Juni lalu, adalah peringatan hari jatuhnya Masjid al-Aqsha dan Kota al- Quds, dalam cengkeraman Zionis Israel pada perang enam hari Arab melawan Israel pada 1967. Hingga detik ini, penjajahan tak kunjung sirna. Bahkan menurut Imam Besar Masjid al-Aqsha, Palestina, Syekh Mustafa Muhammad Abdel Rahman at- Tawil, Israel semakin menggila dengan melakukan berbagai kebijakan yang merugikan dan membahayakan al-Aqsha dan al-Quds. Mereka mencoba menyingkirkan tanda-tanda dan identitas Islam dan Arab di al-Quds, Palestina, kata dia saat berkunjung dan berbincang dengan redaksi Republika, Juni lalu.
Dalam rencana besar Zionis Israel, mereka bersiap-siap memisahkan atau membagi dua Masjid al-Aqsha ini. Satu mungkin untuk Islam satu untuk Yahudi. Tidak hanya itu, sejak 50 tahun yang lalu, Israel memiliki proyek besar penggalian terowongan di Kompleks Masjid al-Aqsha. Terowongan itu bisa saja memicu masjid roboh kapan saja, ujar Syekh at-Tawil. Berikut ini sejumlah isi perbincangan dengan Syekh at-Tawil yang disarikan oleh wartawan Republika, Rahmat Fajar:
Bagaimana Anda menggambarkan situasi di Palestina sejauh ini?
Kita ketahui agama kita ini adalah agama yang berada di tengah dari segala konflik yang ada. Islam bukan agama radikal dan teroris atau ekstremis. Agama mengajarkan kita berada di tengah-tengah dan mo derat. Semoga negara ini diberikan keamanan, ketenteraman, kestabilan, dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Maka dari itu, saya sangat berharap kepada redaksi Republika agar lebih fokus terhadap isu yang berkaitan dengan al-Aqsha, Palestina.
Karena Masjid al-Aqsha sampai saat ini belum terbebas dari penjajahan, terus mendapatkan intervensi. Tepat 5 juni lalu merupakan 50 tahun terjajahnya Masjid al-Aqsha secara khusus atau diambil alih kewenangan oleh Zionis Israel, tepat hari ini (5 Juni). Sejak 50 tahun itu ada proyek penggalian fondasi al-Aqsha yang nanti suatu saat akan roboh, sehingga tidak bisa dibangun kembali.
Mereka mencoba me nyingkirkan tanda-tanda dan identitas Islam dan Arab di al-Quds, Palestina. Dan mereka (Zionis Israel) mengekspansi atau memasukkan lebih banyak lagi orang-orang yahudi untuk masuk ke al-Aqsha dengan tujuan supaya umat Yahudi banyak terkonsentrasi di al-Aqsha, seperti pelak sanaan ibadah mereka di tembok ratapan.
Sejauh mana tingkat kerusakan akibat proses penggalian al-Aqsha saat ini?
Jadi, sekarang itu sudah parah karena lantai Masjid al-Aqsha itu di bawahnya sudah berubah semua. Berubah menjadi terowongan-terowongan besar. Jadi, selain itu, lantai dasar bolong. Dalam rencana besar Zionis Israel, mereka bersiap-siap me misahkan atau membagi dua Masjid al- Aqsha ini. Satu mungkin untuk Islam satu untuk Yahudi. Jadi jangan salah, luas al- Aqsha yaitu 144 ribu meter. Jadi, ada beberapa masjid di sana, kesemuanya disebut al-Aqsha. Kalau memandang al-Aqsha jangan hanya terpaku pada satu titik, tapi di sana banyak bangunan dan bagian yang lain.
Di titik mana sajakah penggalian berlangsung?
Yang ada penggalian di seluruh kompleks ini, maka orang yang masuk terowongan itu bisa berjalan dua hingga tiga kilometer di bawah kompleks al-Aqsha itu.
Jadi, bukan hanya di bawah tempat ibadah nya saja tapi seluruh kompleksnya sudah ada terowongan yang besar. Di luar kom pleks sedikit, di bagian selatan itu ada namanya Kampung Syruwa. Itu yang orang Yahudi klaim bahwa kampung itu kampungnya Nabi Daud. Jadi, di titik perkampungan inilah proyek ilegal tersebut dibuat. Jadi, mereka mulai menggali terowongan di situ untuk sampai ke tembok ratapan.
Soal kebijakan pembagian al-Aqsha dari segi waktu dan tempat, bisa Anda ceritakan?
Percobaan atau proyek pembagian al- Aqsha menjadi beberapa bagian, baik klasi fikasi waktu dan tempat, telah mereka lakukan. Sebagaimana sudah terjadi di salah satu bagian yang itu sudah selesai dipisahkan oleh mereka. Adapun yang terjadi di warga sipil, terkhusus kota al-Quds, Israel mereka lebih leluasa untuk mengatakan 'ini hancurkan' jika mereka tidak pu nya izin rumah.
Di al-Quds mereka meng intervensi wilayah kurikulum pendi dikan terutama berkaitan dengan Islam. Mereka juga mulai mengeluarkan tanda pengenal baru untuk warga al-Quds saja. Jadi, mereka akan dibatasi secara adminis trasi untuk membangun rumah. Semua itu dilakukan tidak lain untuk meminimalisasi kunjungan warga al-Quds untuk bisa berkunjung ke al-Aqsha.
Jadi, kebijakan diskriminatif Zionis Israel tersebut sudah berlaku? Kebijakan ini sudah berlaku. Israel sudah mengeluarkan aturan larangan tentang tidak bolehnya warga al-Quds, terutama di luar tembok, pergi ke al-Aqsha, kecuali yang berumur lebih dari 55 tahun. Selama Ramadhan, mereka sedikit melonggarkan, namun itu pun di atas 40 tahun. Inilah fakta yang bisa disampaikan.
Masjid al-Aqsha pun hanya dibuka untuk shalat. Tidak boleh ada aktivitas lain untuk memakmurkannya. Israel melarang muhasabah, pengajian, taklim, dan segala kegiatan berkumpul di sana. Masjid hanya dibuka 30 menit sebelum Subuh dan setelah Isya sudah ditutup lagi. Selama Ramadhan pun sama. Kecuali saat sepuluh hari terakhir yang akan dibuka 24 jam untuk keperluan iktikaf.
Orang yang dari luar kompleks lah yang dibatasi. Sedangkan mereka yang tinggal di dalam kompleks adalah mereka yang sudah melewati screening Israel agar boleh tinggal di sana. Jumlahnya tidak banyak. Profesi mereka juga beragam, mulai dari karyawan hingga pengusaha. Mereka tidak dibatasi untuk beribadah di sana.
Selain juga memang ada pembunuhan, pengerebakan, penangkapan terhadap anak maupun dewasa yang tidak berhenti setiap harinya. Yang terjadi saat ini sebagai warga al-Quds sama sekali sulit masuk kecuali punya izin. Dan izin itu dikeluarkan oleh Israel. Kenyataan yang sangat menyakitkan dan menyedihkan itu yang dirasakan oleh kami. Inilah sedikit gambaran yang terjadi di al-Quds dan al- Aqsha.
Bagaimana dengan aktivitas ziarah al- Aqsha, apakah larangan tersebut juga berlaku?
Peraturan pembatasan tidak berlaku untuk wisatawan. Tak ada batasan minimal dan maksimal umur peziarah. Setiap harinya ada saja wisatawan yang datang, baik Muslim maupun non-Muslim. Sebagian besar wisatawan Muslim berasal dari Turki. Saya tidak melihat tidak adanya mereka. Selalu ada dari Turki. Memang selain Turki ada juga India, Pakistan, dan Indonesia. Selain Muslim banyak juga yang datang.
Kalau jumlah statistik yang pasti berapa banyak wisatawan yang berkunjung tidak ada. Yang pasti, mereka yang masuk al-Aqsha harus mendapat izin tertulis dari Israel. Segala macam prosedur manajeman al-Aqsha pun harus melalui Israel, termasuk pemeliharaan.
Apakah pembatasan aktivitas keagamaan juga berlaku di wilayah lain, di luar Kota al-Quds?
Jadi, warga sipil yang tinggal di dalam dinding itu sudah diberikan atau discreening untuk bebas masuk ke Masjid al- Aqsha, meskipun kadang ada hambatan. Tapi yang susah justru mereka yang berada di luar dinding, seperti penduduk yang berasal dari Tepi Barat dan Gaza, itu yang sedikit sekali mendapat izin dari Israel untuk bisa shalat di al-Aqsha. Kalau sudah di ibu kota al-Quds peraturan lebih kuat dari pihak Zionis Israel. Dan itu pasti menyulitkan bagi warga Muslim untuk shalat.