Oleh: Taufiq Munir *
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Iman secara bahasa berarti percaya. Namun para ulama membuat terminologi bahwa yang dimaksud iman adalah: berkeyakinan dalam hati, diucapkan secara lisan, dan diaplikasikan dengan nyata. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan keimanan di sini adalah keimanan yang konsisten (tasdiqan jaziman) terhadap semua yang diwahyukan Allah, baik akidah, ibadah, akhlak dan semua hal yang sudah pasti dalam agama.
Ketika Rasulullah saw bertanya tentang hakekat iman, malaikat Jibril menjawab: iman adalah Anda percaya kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari Akhir, dan qada/qadar yang baik ataupun yang buruk.
Alquran lebih jauh memerinci apa yang wajib diimani: Rasul telah beriman kepada Alquran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya" (QS. 02:85).
Untuk membuktikan kebenaran beriman atau tidak seseorang, maka pengucapan secara lisan itu wajib dibarengi dengan keyakinan di dalam hatinya serta dinyatakan dengan arkan (rukun-rukun). Kalau ini terbukti ada dalam pribadi seseorang maka orang tersebut dinyatakan sebagai orang mu’min (beriman).
Alquran menafikan orang-orang yang menyatakan beriman di mulut saja sementara hatinya ingkar. (QS. 02:08). Alquran juga menyatakan tentang perilaku orang Badui. Dilukiskan dalam Alquran: Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. (QS. 49:14).
Benar bahwasanya sesuatu yang kasat mata dan pengucapan lewat lisan sudahlah cukup untuk meyakinkan manusia. Ini tentunya hanya berlaku di dunia, adapaun di Akherat tentu tidak semudah itu, maka pengucapan lisan wajib disertakan keyakinan yang mantap dalam hati disamping diaplikasikan dengan pelaksanaan ibadah dengan anggota badan (aljawarih). Ibadah itu termasuk "ibadah murni" (sholat, zakat, puasa, haji dsb) maupun "ibadah tidak-murni" (tolong menolong, berbuat baik terhadap sesama, memberi santunan, dll).
Iman yang benar kepada Allah swt berdampak positif pada kehidupan manusia dan kepada hidayahnya sendiri. Terbukti Alquran menyatakan: "…dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya". (QS. 64:11).
Orang-orang yang beriman kepada Allah sudah cukup membawa pemeluknya ke dalam Surga yang dijanjikan sekalipun dirinya bergelimang maksiat. "Tiadalah seorang hamba yang berkata Tidak ada tuhan selain Allah kemudian ia mati atas (keyakinannya) itu, melainkan ia masuk Surga", begitu sabda Rasulullah SAW. Kemudian sahabat, Abu Zar Algiffari, bertanya: "kalau ia berzina dan mencuri?" Jawab Rasulullah, "sekalipun ia berzina, sekalipun ia mencuri".
Sungguh indah Islam yang diberikan Allah kepada kita. Oleh karena itu, tak ada alasan bagi hamba-hamba Allah untuk mensyukuri nikmat yang besar itu dengan senantiasa beristighfar, memohon ampun kepada Allah swt. atas segala dosa dan kekhilafan yang selama ini menghalangi rahmat-Nya. Wallahu a'lam.[]
* Ketua TIDIM-LDNU, Hongkong.