Kamis 01 Jun 2017 09:31 WIB

Cinta Sejati

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Perjalanan sufi (ilustrasi)
Foto: Blogspot.com
Perjalanan sufi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Syamsuddin Muhammad al-Hafizh (1320-1389). Dunia tasawuf mengenalnya sebagai “penyair mistis yang agung”. Sosok kelahiran Syiraz, Iran Tengah, tersebut dikenal memiliki banyak karya puisi yang bernuansakan sufisme. Para ahli mencatat, karya sastranya terdiri atas 500 sajak, 42 kuatrain, dan kasidah.

Hampir keseluruhan puisi tersebut bertemakan tentang olah spiritual, cinta sufistik, dan kesatuan wujud. Tetapi, tak disangka bahwa perjalanan spiritualnya tersebut melewati fase-fase yang berliku, terkadang terjal.

Kisah berikut ini menggambarkan tentang konsistensinya untuk mengejar cinta yang sesungguhnya, cinta terhadap Sang Khalik, melebih apa pun, termasuk cinta terhadap pasangan yang kerap membuai seseorang dengan impian, kebahagiaan, sekalipun tak jarang semu. Kondisi ini pernah terjadi saat ia berusia 21 tahun sebelum ia menikah.

Ketika itu, saat belum bersentuhan dengan dunia sufistik, ia pernah bekerja sebagai pembantu pembuat roti. Dalam satu kesempatan, sang majikan meminta sosok yang akrab disapa al-Hafizh itu mengantar pesanan roti ke sebuah rumah. Secara tak sengaja, sesampainya di rumah tersebut, ia melihat seorang gadis dengan paras yang menawan. Hatinya tersentuh. Sayang, perasaan itu tak berbalas. Cintanya bertepuk sebelah tangan. Status sosial tak mendukung. Belum lagi, dari segi fisik, jauh dari standar laki-laki idaman.      

Dalam situasi ini, intuisinya terasah. Ia tergerak menuangkan perasaannya dalam goresan-goresan tulisan, barisan kata, susunan kalimat-kalimat indah, penuh estetika. Syahdan, usahanya berhasil. Sosok yang gadis digambarkan dalam bait-bait puisinya dengan sakh i nabat, permen gula. Manis di lidah dan sedap dipandang mata. Ia sukses menggubah puisi-puisi cinta yang berkualitas. Hal ini membuat nama al-Hafizh naik daun sebagai pujangga baru, seantero Syiraz.

Hasratnya untuk merebut hati sang gadis pun tak terbendung. Ia menempuh segala cara. Puncaknya, ia memutuskan menyepi (khalwat) di makam seorang wali, berharap ada petunjuk atau wangsit di sana. Ritualnya itu ia selesaikan dalam 40 malam secara berturut-turut, tanpa melewatkan mencari nafkah pada siang hari. Keinginannya yang kuat memotivasinya menyelesaikan prosesi ini. Tetapi, ia tak menyangka, justru ritual tersebut menjadi titik perubahan mendasar dalam hidupnya.                  

Pada pengujung khalwatnya, saat fajar menyingsing, ia didatangi oleh sosok malaikat dengan penampilan yang sangat menarik, berkilauan dengan cahaya. Ia terperanjat, setengah kagum, bercampur haru dan bahagia, sekaligus nyaris tidak percaya. “Ini tidak mungkin,” gumamnya.  

Tetapi, keraguannya itu terjawab. Perhatiannya teralihkan, rasa penasarannya terhadap gadis pujaan tergeser oleh penampakan malaikat. Pikirannya melayang dan hanya terfokus pada satu pernyataan. “Jika utusan-Nya saja begitu indah, pastilah Tuhan jauh lebih indah!” katanya. Ia pun berkata,” Aku meninginkan Tuhan,” ujarnya.  

Sang malaikat memberikan saran agar al-Hafizh berguru kepada seorang sufi terkemuka di Syiraz, yakni Muhammad Athar. Ia diminta untuk membaktikan diri dan belajar hikmah kepada gurunya itu yang terkenal dengan pembuat parfum. Sejak itulah, akhirnya cinta al-Hafizh beralih dari mencintai lawan jenis yang semu menjadi cinta terhadap Sang Khalik yang hakiki.

Penempaan demi penampaan ia lakukan hingga ia berhasil mencapai tangga kewalian. Keagungannya pun tersohor di Iran, bahkan dunia modern mengakui kedalaman puisnya, seperti penyair Amerika Ralph Waldo Emerson. Baginya, sosok al-Hafiz, adalah penyair sufistik yang tak ada tandingannya. “Ia penyair yang tak mungkin Anda abaikan,” katanya. Ia dimakamkan di kompleks Taman Mushallah, dekat tepi Sungai Ruknabad, Syiraz.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement