Jumat 26 May 2017 19:30 WIB
Belajar Kitab

Keistimewaan Al-Munqidz Min ad-Dlalal

Rep: Syahruddin el-Fikri/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi Kitab Kuning
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi Kitab Kuning

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Al-Munqidz Min ad-Dlalal Berbeda dari karya-karyanya yang lain, kitab Al-Munqidz Min ad-Dlalal (Penyelamat Kesesatan), berisi tentang pengalaman dan perjalanan pribadi al-Ghazali dalam menempuh jalur sufi.

Dalam buku ini, ia menuangkan pemikiran-pemikirannya tentang pemikirannya menempuh jalur sufi, termasuk beberapa bantahannya terhadap pemahaman orang mengenai filsafat. Pada mukadimahnya, ia menulis bahwa berbagai perdebatan yang selama ini terjadi, telah memunculkan berbagai kelompok yang saling mengklaim diri mereka yang paling benar.

Pertikaian ini juga berawal dari hadis Rasulullah yang menerangkan bahwa umat Islam terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu di antara mereka yang benar. Kelompok-kelompok itu, mengklaim bahwa merekalah kelompok yang benar.

Usaha Al-Ghazali dalam hal ini menjelaskan bahwa Alquran telah mengandung ukuran-ukuran tentang kebenaran, dan manusia telah dianugerahi alat untuk berpikir dan menggunakan ukuran-ukuran tersebut. Al-Ghazali mengakui, perjalanannya menempuh jalur sufi itu memerlukan waktu yang sangat panjang, termasuk dalam menelusuri berbagai macam aliran yang mengklaim diri mereka paling benar. Hampir setengah dari usianya, ia habiskan untuk mencari dan menyelidiki semua aliran yang berkembang itu. Dalam al-Munqidz Min ad-Dlalal, ia mengungkapkan kisahnya itu.

''Sejak muda, kurang dari 20 tahun hingga lebih dari 50 tahun kini, tidak hentinya aku menyelami samudera luas ini. Aku selidiki setiap kepercayaan, aku dalam setiap mazhab, dan aku kaji setiap ajaran untuk membuktikan mana yang benar; Bathiniyyah, Zhahiriyyah, Kalam, Filsafat, dan Tasawuf. Tidak ketinggalan pula kaum Zindiq dan Mu'athil.''

Dari semua aliran, kepercayaan, dan mazhab itu, sampailah ia pada kesimpulan bahwa jalan tasawuf adalah jalan yang 'paling benar' dalam menggapai kebahagiaan hakiki. Yang dimaksudkannya dengan 'paling benar' adalah jalan yang ditempuh sufi dengan jalan pengalaman atau merasakan lezatnya beragama, menikmati pertemuan, dan kedekatan dengan Allah SWT.

''Tidak seperti ahli kalam yang berkutat seputar kata dan logika dalam membuktikan adanya Allah. Padahal, kehadiran-Nya bisa kita rasakan dan kita lihat. Bukan dengan perangkat indra ataupun logika nalar, tapi dengan perangkat batin yang dinamakan Dzawq, setelah diasah terlebih dahulu melalui pengolahan batin,'' ujarnya.

Dalam Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali, disebutkan, Dzawq adalah rasa yang bersifat fisik, tetapi dalam istilah tasawuf, Dzawq mengandung pengertian pengalaman kebenaran secara langsung. Dalam konteks ini, dzawq mengandung pengertian sama dengan pemikiran atau kebijaksanaan yang berasal dari bahasa Latin sapere yang utamanya bermakna merasakan, dan mengalami perluasan makna membedakan dan mengenali.

Menurut Muhammad Sholihin, dalam bukunya Sufisme dalam Islam, Dzawq juga bermakna kenikmatan, yakni nikmatnya berdekatan dengan Allah melalui pengalaman batin. Dalam istilah ini, Sholihin menyamakan Dzawq dengan extase. Perlu diketahui, sebelum menjadi sufi, al-Ghazali adalah seorang guru besar di Universitas Nizamiyah. Ia juga pemikir, filsuf, ahli kalam, ahli fikih dan ilmu-ilmu yang lainnya.

Dan justru, karena ilmu-ilmu itu tidak memberikan manfaat terhadap batinnya, maka al-Ghazali memutuskan untuk mempraktikkan ilmunya itu dengan jalan meninggalkan seluruh aktivitasnya untuk beribadah kepada Allah SWT dan melakukan uzlah. Dan setelah menulis kitab besar yang di beri nama Ihya' Ulum ad-Din, al-Ghazali pernah melakukan uzlah selama 120 hari, pada saat itulah beliau mendapatkan ilmu kasyf yang terkenal itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement