Selasa 25 Apr 2017 17:26 WIB

Isra Mi’raj, Bung Karno, dan Jalan Sunyi Bangsa

Komplek Masjid Al Aqsa
Foto:

Jika kita berkenan belajar kepada sejarah, kita akan menemukan bahwa sejatinya Isra' kebangsaan sudah sangat lama kita lakukan. Perjalanan sunyi itu bermula ketika ikhtiar proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Bung Karno. Pada saat itu sesungguhnya jalan sunyi (Isra') kebangsaan kita, sudah kita jalankan.

Perjalanan yang sunyi, menjadi diri sendiri, menjadi bangsa yang merdeka dan mandiri sesungguhnya sudah kita jalani. Namun tampaknya ikhtiar kemerdekaan itu tidak semulus yang kita bayangkan serta kita andai-andaikan. Kita bersama berhasil lepas dan merdeka dari penjajah.

Namun sesungguhnya yang terjadi pada orde pasca-Sukarno telah lahir dari rahim Tanah Air ini, penjajah-penjajah yang baru, yang benar-benar menjadikan rakyat bangsa Indonesia sebagai pejalan sunyi yang tidak pernah ditemani oleh siapapun.

Dalam momentum Isra’ Mi’raj kali ini alangkah relevannya jika kita menilik pidato Bung Karno pada 1959. Bung Karno mengatakan, “Tidak ada suatu bangsa dapat berhebat, jikalau batinnya tidak terbuat dari nur iman yang sekuat-kuatnya. Jikalau Bangsa Indonesia ingin kekal, kuat, nomor satu jiwa kita harus selalau jiwa yang ingin Mikraj, supaya kebudayaan kita naik ke atas, supaya Negara kita naik ke atas. Bangsa yang tidak mempunyai adreng-adreng untuk naik ke atas, bangsa yang demikian itu, dengan sendirinya akan gugur pelan-pelan dari muka bumi, sirna ilang kertaning bumi”.

Jika bangsa kita, bangsa nusantara yang kala itu terbukti berhasil melawan penajajah lalu kemudian membentuk dan memadatkan bangsa Nusantara menjadi negara yang bernama Indonesia, sejatinya bangsa tersebut sudah ber-isra’, sudah menempuh jalan sunyi.

Adapun tahapan selanjutnya yang harus dilakukan negara ini harus bermi’raj. Memadatkan cita-citanya untuk “naik” ke atas menuju tatanan kehidupan yang adil dan makmur.

Mi’raj negara adalah mi’raj politik yang memiliki arti terciptanya tata kelola politik yang adi luhung, yang mengedepankan nilai-nilai kejujuran dan kesantunanan. Bukan sebaliknya, politik yang lebih mengedepankan kepentingan serta transaksional semata.

Mi’raj politik ini pada tanpa yang paling adiluhung selalu berusaha mengimplementasikan tujuan negara yang termaktub dalam UUD 1945 yakni pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Kedua, untuk memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa. Keempat, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Momentum Isra’ Mi’raj  1938 H ini juga menjadi momentum yang sangat penting untuk dijadikan cermin refleksi bagi siapa saja agar bersedia  kembali dan menyambangi lubuk hati dan nurani masing-masing. Momentum yang sangat tepat melakukan muhasabah kemudian merefleksikan diri sejuah mana perannya memi’rajkan Indonesia.

Menjadi bangsa yang maju membutuhkan pengorbanan yang utuh dan kompleks. Dan ikhtiar memaknai Isra’ Mi’raj sebagai salah satu instrumen  memperbaiki bangsa adalah bagian kecil yang akan sangat berarti jika kita mau untuk mengamalkannya. 

 

*Moch Aly Taufi, MA

 Wakil Sekjen Lakpedam PBNU, Majelis Harian Kornas Nusantara Mengaji 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement