Selasa 18 Apr 2017 15:15 WIB
Belajar Kitab

Air yang Suci dan Menyucikan

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi Air Menetes
Foto: Agung Suprianto/Republika
Ilustrasi Air Menetes

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Untuk lebih memberikan gambaran jelas tentang metode penulisan Al-Umm sebagai contoh, bahasan yang pertama kali dikupas dalam Al-Umm adalah permasalahan bersuci atau thaharah. Sebagaimana telah dijelaskan tentang metode yang digunakan As-Syafii dalam penulisan Al-Umm, setiap pembahasan masalah senantiasa diberikan dalil-dalilnya. Misalnya, dalam hal bersuci dan shalat, dalil yang dipergunakan adalah QS Almaidah [5]: 6.

Hai, orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” 

As-Syafii menjelaskan, media utama untuk bersuci tak lain adalah air. Yang dimaksud dengan air di sini bersifat umum, baik air hujan, sungai, sumur, air terjun, ataupun air laut. Air tersebut harus menyucikan, baik untuk wudu ataupun mandi junub.

As-Syafii menerangkan, secara tekstual, setiap air pada dasarnya adalah suci. Teks Alquran ini diperkuat dengan sebuah hadis tentang kesucian air laut. Dengan demikian¸ selama belum tercampur dengan perkara najis, air tersebut suci dan menyucikan. Baik air dingin, dari cairan salju, maupun air yang dipanaskan. Sebab, hakikatnya, api tidak membuat air najis.

Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab RA. Dia pernah merebus air, lalu memakainya untuk mandi dan berwudu. Begitu juga air yang dijemur, menurut Imam Syafii, tidak dihukum makruh sehingga tetap suci dan menyucikan. 

Selanjutnya, untuk menguatkan pembahasan tentang bersuci, dalam beberapa pasal cabang (furu’) terkait, Imam Syafii mengupas klasifikasi air najis dan tidak najis, berikut pengertiannya. Pada prinsipnya, air tersebut harus dilihat apakah termasuk kategori air yang mengalir atau air yang mengendap. Jika terdapat sesuatu yang haram, seperti bangkai, selama air tersebut mengalir, tetap dihukumi suci dan menyucikan.

Jika salah satu bagian atau aliran air tersebut mengendap, sedangkan bangkai terletak pada sisi yang mengendap tersebut, yang dihukum najis adalah air yang berada di bagian mengendap tadi. Apabila najis tersebut memengaruhi aroma, rasa, dan warna, sekalipun air mengalir, tetap dihukumi najis.

Sedangkan, air yang mengendap ada dua. Pertama, air yang tidak berubah menjadi najis lantaran ada barang najis di dalamnya. Dengan catatan, selama warna, aroma, dan rasanya tidak terkontaminasi. Kedua, air mengendap yang najis karena ada perkara haram sekalipun barang tersebut tidak ada di dalamnya.

Dalam konteks pembedaan air ini, As-Syafii mengutip hadis dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW pernah menyatakan, selama air lebih dari dua qullah, tidak terpengaruh najis atau kotor. Sedangkan, takaran qullah, menurut As-Syafii, ialah dua setengah lengan orang dewasa. Selama air kurang dari itu dan terdapat bangkai, misalnya, air tersebut najis dan bejananya pun najis serta harus disucikan terlebih dahulu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement