Sabtu 15 Apr 2017 08:00 WIB
Entaskan Buta Huruf Alquran

Bukan Sekadar Guru Ngaji

Rep: Rahmat Fajar/ Red: Agung Sasongko
Mengaji
Foto: AP
Mengaji

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberadaan guru mengaji tradisional atau ajengan di Indonesia sejatinya tidak bisa dianggap remeh. Kontribusi mereka selama ini memiliki arti penting dalam menumbuhkan semangat keagamaan di tengah-tengah masyarakat di negeri ini.

Sebagian besar dari guru nonformal itu tidak sebatas menjalankan fungsi sebagai pengajar Alquran semata. Mereka acap kali berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sosial di lingkungan sekitar.

Di beberapa daerah, para ajengan mendapat penghormatan yang cukup besar dari masyarakat. Mereka tidak hanya dipandang sebagai sosok yang memiliki pengetahuan agama yang luas. Para guru ngaji juga dianggap sebagai orang yang memiliki nilai ketokohan yang dapat dijadikan panutan oleh orang-orang di sekitar mereka.

"Sepanjang yang saya tahu, ajengan itu adalah sosok bersahaja yang secara emosional memiliki hubungan kedekatan dengan masyarakat," kata salah seorang ajengan asal Majalengka, Jawa Barat, Ustaz Aceng (43 tahun), kepada Republika.co.id, belum lama ini.

Dia menuturkan, ajengan pada umumnya sering dilibatkan dalam berbagai kegiatan keagamaan yang diadakan masyarakat. Sebagai contoh, ketika satu keluarga menggelar acara akikah bayi yang baru lahir, mereka biasanya memanggil ajengan untuk membacakan doa. Di saat ada warga yang menyelenggarakan pernikahan, guru mengaji pun acap diminta untuk menyampaikan khutbah nikah.

Di lain kesempatan, ketika terjadi musibah kematian di suatu kampung, para ahli waris mayit pun mengundang ajengan untuk membacakan tahlil di rumah mereka.

"Hampir setiap waktu, ada saja kegiatan yang melibatkan ajengan. Karena, mereka memang dipercaya untuk mengakomodir kearifan lokal yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, mulai kelahiran hingga kematian," ujar Aceng.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement