Jumat 07 Apr 2017 15:00 WIB

Mengenal Al-Qali, Sang Pakar Bahasa

Rep: Yusuf Ashiddq/ Red: Agung Sasongko
Ilmuwan Muslim.
Foto: Metaexistence.org
Ilmuwan Muslim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perantauan telah sejak dini dirasakan Al-Qali. Pada usia 15 tahun, lelaki kelahiran Manazgrid, Armenia, itu sudah menjejakkan kaki di Baghdad, Irak. Dahaga ilmu pengetahuan yang dari awal ia rasakan, dipuaskan di sana. Kegigihan, mengantarkannya menjadi sosok penting dalam ranah intelektual, terutama kajian bahasa. 

Pada masanya, kajian ini mengalami perkembangan pesat untuk memenuhi kebutuhan umat Islam serta mualaf yang ingin mempelajari dan mengkaji Alquran. Minat ini juga dipicu kesenjangan antara bahasa klasik Alquran dan bahasa percakapan sehari-hari, sebab dalam praktiknya telah bercampur dengan bahasa Suriah, Persia, dan bahasa lain. 

Ismail ibn Qasim bin Aidhun Abu Ali, nama lengkap Al-Qali (901-967), menguasai  hampir seluruh aspek kajian bahasa. Dari gramatika, sastra, tata bahasa, serta dua ilmu baru, yakni filologi dan leksikografi atau teknik penyusunan kamus. Bahkan, namanya sejajar dengan nama besar lainnya dalam bidang tersebut. 

Di antaranya,  Ibnu Duraid, al-Azhari atau Abu Amr Shamir ibnu Hamdawaih. Menurut John A Haywood dalam History of Arabic Lexicography, sejumlah figur berpengaruh juga pernah menjadi gurunya. Seperti, al-Harawi dalam bidang hadis, Ibnu Darastawih, salah seorang ahli tata bahasa dan sastarawan terkemuka. 

Nama lain yang disebutkan Haywood adalah Zujaj, Akhfash, Ibnu Siraj, Ibnu al-Anbariy, Ibnu Abi al-Azhar, dan Ibnu Qutaybah. Dan kegigihannya selama 25 tahun tidaklah sia-sia karena ia menguasai banyak ilmu dan akhirnya menjadi rujukan. ‘’Dia telah mencapai tingkat tertinggi dalam bidang yang ditekuninya,’’ puji sejarawan Ibnu Khallikan. 

Sayang, Baghdad tampaknya hanya menjadi tempatnya untuk menimba ilmu. Baghdad, tak memberinya penghargaan yang layak atas kepintarannya dalam kajian bahasa. Di kota itu, ia juga dibalut kemiskinan. Bahkan pernah, ia terpaksa hendak menjual salah satu koleksi yang paling berharga, yaitu Jamhara, karya Ibnu Duraid, demi sesuap nasi. 

Akhirnya, ia memutuskan untuk meninggalkan Baghdad. Ia merantau, mengadu peruntungan di Kordoba, ibu kota Andalusia. Saat itu, usianya telah mencapai 40 tahun. Ia melihat, Kordoba sedang dalam suasana gempita seiring kemajuan serta pencapaian luar biasa di berbagai bidang. Dan di sinilah, al-Qali dapat memaksimalkan keahliannya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement