REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di dalam istilah fikih, nafkah berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang atau pihak yang berhak menerimanya. Nafkah utama yang diberikan itu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok kehidupan, yakni makanan, pakaian, dan tempat tinggal.
Faktir-faktor yang menyebabkan terjadinya nafkah adalah perkawinan, hubungan darah (keluarga), dan pemilikan terhadap sesuatu yang memerlukan adanya nafkah.
Apabila terjadi perkawinan, suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya, jika syarat-syaratnya terpenuhi, yaitu, pertama, perkawinan itu telah terjadi secara sah menurut hukum Islam (syarak), kedua, istri telah menyerahkan diri kepada suaminya, ketiga, mungkin dilakukan hubungan intim di antara keduanya (suami istri), keempat, istri bersedia tinggal di tempat yang ditentukan oleh suami, dan kelima, kedua belah pihak adalah ahl al-istimta (dapat melakukan hubungan badan secara normal dan wajar). Dasar dari kewajiban tersebut ialah Alquran, hadis dan ijma ulama.
Dasar dari Alquran antara lain firman Allah SWT dalam surat at-Talaq ayat 6, yang artinya, ''Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka..''
Sementara dasar dari hadis, yakni sabda Rasulullah sewaktu melaksanakan haji Wada (haji terakhir), yang artinya, ''Takutlah kalian kepada Allah dalam masalah wanita. Sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanat Allah dan halal bagi kalian mencampuri mereka dengan kalimat Allah. Karena itu, wajib atas kalian memberikan makanan dan pakaian kepada mereka dengan cara yang ma'ruf (baik).'' (HR Muslim)
Pada dasarnya, kadar nafkah yang wajib disesuaikan dnegan keadaan (kesanggupan) suami. Para ulama tidak memberikan ukuran dan kadar nafkah itu, kecuali Imam Syafii. Menurutnya, besarnya nafkah tersebut untuk yang kaya minimal dua mud (5/6 liter) per hari, bagi golongan menengah minimal satu setengah mud, dan bagi kelas bawah minimal satu mud.
Nafkah ini berupa makanan pokok (yang mengenyangkan) yang berlaku di negeri yang bersangkutan. Apabila nafkah ini tidak diberikan oleh suami, di samping suami berdosa, menurut Imam Syafii, Malik dan Hanbali, ia harus membayarnya dan itu merupakan utang baginya. Namun menurut Imam Hanafi, tidaklah demikian kecuali jika nafkah itu sudah ditentukan kadarnya oleh hakim.
Ulama juga sepakat bahwa hubungan kekeluargaan juga merupakan salah satu faktor wajibnya nafkah. Mereka sepakat, keluarga dekat wajib diberi nafkah bagi yang memang memerlukannya. Menurut Imam Syafii, keluarga yang wajib diberi nafkah meliputi keluarga dari garis keturunan ke bawah (furu'), seperti anak, cucu, buyut, dan seterusnya ke bawah, dan keluarga dari garis keturunan ke atas (usul) seperti ayah, ibu, nenek, kakek dan seterusnya ke atas.
Disarikan dari buku Ensiklopedi Islam terbitan PT Ikhtiar Baru van Hoeve, Jakarta.