Oleh: Wisnu Tanggap Prabowo
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ibnu Hazm meletakkan sebuah kaidah untuk mengetahui apakah sesuatu yang kita peroleh itu nikmat atau fitnah. Ia berkata, "Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah hanyalah musibah" (Jaami'ul Ulum wal Hikam).
Teknologi dapat memberi kebaikan yang banyak bagi seorang mukmin. Memanfaatkan teknologi untuk menuntut ilmu, misalnya, adalah bentuk syukur kepada Allah terhadap nikmat teknologi. Allah SWT berfirman, "Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)" (QS at-Takatsur: 8).
Seseorang bernama Baqi bin Makhlad berjalan dari Andalusia (Spanyol) menuju Baghdad dengan menyusuri Afrika Utara untuk berguru kepada Imam Ahmad bin Hambal (Thabaqatil Hanabilah). Pada hari ini, seseorang dapat menimba mata air ilmu ke sejumlah kota di Indonesia, bahkan ke negari-negeri di Timur Tengah, menggunakan moda transportasi udara hanya dalam hitungan belasan jam. Sekarang perjalanan Baqi bin Makhlad tersebut dapat ditempuh enam sampai tujuh jam saja menggunakan pesawat komersial.
Mencari hadis pun pada hari ini sangatlah mudah. Selain banyak terdapat di perpustakaan dan toko-toko buku, kitab-kitab hadis dalam beragam format dapat diakses melalui gawai, termasuk dalam bentuk software.
Dua belas abad silam, Abu Hatim ar Razi harus menempuh perjalanan sejauh 4.800 kilometer untuk mencari hadis-hadis Nabi. Ia mengembara selama 10 tahun saat infrastruktur jalan modern dan kendaraan bermesin belum ada. Karena kertas belum diproduksi secara massal sehingga harganya terbilang mahal, beliau pernah menjual bajunya seharga 60 dirham, 10 dirham ia belanjakan untuk kertas dan selebihnya ia gunakan sebagai upah bagi penyalin kitab Imam Asy Syafi'i.
Imam Asy Syafi'i pun pernah menulis di atas pelepah kurma, tulang unta, bebatuan, tembikar dan kertas bekas yang dibuang orang (Ensiklopedi Imam Syafi'i). Gawai pada hari ini menawarkan banyak fungsi. Salah satunya untuk menuliskan catatan ringkas atau merekam. Dahulu, Majduddin ibn Taimiyah (kakek Ibnu Taimiyah) harus memintakan orang lain membacakan sebuah kitab saat ia sedang di kamar mandi. Hal itu ia lakukan agar tidak ada waktu yang terbuang percuma. Apabila alat perekam sudah ada, tentu ia tidak perlu bersusah-susah untuk mengulang pelajaran.
Ketekunan Imam Bukhari dalam menulis kitab Tarikh Kabir pun tidak padam dengan gelapnya malam. Karena tidak memiliki uang untuk membeli lampu minyak, beliau duduk di dekat makam Rasulullah dan menulis di bawah sinar rembulan. Pada hari ini, nyaris tidak ada satu pun hunian tanpa penerangan.
Ketika komputer, laptop, alat tulis praktis, dan internet belum ditemukan, Imam Thabari menulis tarikhnya sebanyak 3.000 halaman (Siyar A'lam an Nubala), sedangkan Ibnu Aqil menulis sebuah karya terbesar di dunia, yakni al Funun sebanyak 400-800 jilid (Tarikh Islam). Tanpa mesin cetak, Ahmad bin Abdid al Maqdisiy telah menyalin lebih dari 2.000 jilid kitab, sedangkan Ibnu Jauzi menyalin 50-60 kitab dalam setahun. Subhanallah.