REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seperti umumnya kondisi umat Islam di Eropa, kondisi yang sama juga dialami Muslim Belgorad. Mereka tidak boleh menggunakan pengeras suara. Karena itu, tiap kali khutbah Jumat atau azan dikumandangkan, tidak pernah menggunakan pengeras suara.
Meskipun di masjid terdapat sound system. Pada masa rezim komunis, ranah agama ditekan negara sehingga publikasi secara massal (seperti penggunaan pengeras suara) dianggap tabu.
Dan, bila hari Jumat tiba, masjid dipenuhi jamaah. Jumlah jamaah Jumat sekitar 130 orang. Namun, kapasitas ruangan tak mencukupi.
Karena itu, sebagian jamaah terpaksa melaksanakan shalat di ruang kantor masjid. Seperti umumnya masjid-masjid Indonesia, di Belgorad azan Jumat juga dilakukan dua kali. Seusai azan yang pertama, mereka serentak melakukan shalat sunah.
Jika pada hari biasa, jamaah shalat hanya sekitar lima sampai tujuh orang. Hal ini dapat dimaklumi karena rumah mereka berjauhan dengan lokasi masjid. Di kanan dan kiri masjid terdapat beragam bangunan, seperti hotel, universitas, toko, dan rumah penduduk, yang semuanya milik non-Muslim.
Jika di Indonesia terdapat tradisi tempolong (kotak amal yang diedarkan sebelum khatib naik mimbar), di Belgorad sama sekali tidak ada tradisi kotak amal. Untuk membiayai keperluan masjid, cukup ditanggung oleh donatur.
Sementara itu, jika seorang Muslim membutuhkan daging ayam, kambing, atau sapi, di Belgorad cukup banyak tersedia. Banyak toko yang menjualnya. Tentu saja, proses penyembelihannya tidak diketahui dengan pasti, halal atau tidak.
Untuk itu, Masjid Belgorad menyediakan daging khusus bagi Muslim. Bahkan, harganya sangat murah. Jika di supermarket harga daging kambing dan sapi per kilo mencapi ratusan rublei, daging yang disediakan pengurus masjid hanya berkisar sekitar 50-75 rublei per kilo. Hanya saja, untuk mendapatkan daging seperti itu, perlu menunggu seminggu sekali, yakni pada hari Jumat. Di luar hari Jumat, nyaris sulit ditemukan.