REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Usai dilantik pada Desember 2016 lalu, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump harus menghadapi gelombang demonstrasi besar-besaran dari berbagai kalangan masyarakat dan komunitas keagamaan di sana. Masyarakat merasa kebijakan Donald Trump, khususnya yang berkaitan dengan masyarakat Muslim, diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi Amerika Serikat.
Belum lama ini, misalnya, Trump kembali menandatangani perintah eksekutif perihal larangan negara-negara mayoritas Muslim untuk memasuki AS. Mencakup Iran, Suriah, Libya, Somalia, Yaman, dan Sudan. Dalam kebijakan sebelumnya, selain keenam negara tersebut, tersemat satu negara lainnya, yakni Irak.
Pelarangan tersebut tak ayal memicu reaksi keras. Tidak hanya dari masyarakat Muslim, tapi juga komunitas keagamaan lainnya di sana. Komunitas-komunitas lintas agama memang menunjukkan solidaritasnya bagi masyarakat Muslim AS dengan cara turut berpartisipasi dalam aksi menentang kebijakan Trump yang mendiskreditkan Islam. Aksi tersebut mengusung tema "I am a Muslim Too".
Seperti dilansir laman LA Times, aksi "I am a Muslim Too" tidak hanya diikuti oleh masyarakat Muslim AS, tapi juga dihadiri komunitas-komunitas lintas agama. Termasuk pemuka-pemuka agama, seperti pastor dan rabi (pendeta agama Yahudi) hingga imigran Meksiko.
Adapun tujuan dari aksi itu adalah untuk menolak kebijakan Trump yang diskriminatif terhadap kelompok atau kalangan minoritas di AS. Terhadap komunitas Muslim khususnya dan imigran pada umumnya. Dilansir laman Huffingtonpost, para pemuka dan tokoh lintas agama di AS pernah melakukan pertemuan di sebuah masjid di Washington DC. Selain untuk menunjukkan rasa solidaritas, tokoh-tokoh lintas agama itu juga mencoba menenangkan komunitas Muslim yang merasa khawatir dan terpojok pascaterpilihnya Trump.
"Kami lembaga keagamaan bangsa yang besar ini bahu membahu satu sama lain dalam mendukung saudara-saudara Muslim dan saudari kita," kata perwakilan tokoh lintas agama yang hadir dalam pertemuan tersebut.
Ketua Pimpinan Cabang Istimewa (PCI) Muhammadiyah di AS Muhamad Ali mengungkapkan, terdapat sekitar empat hingga 10 juta Muslim di AS. Sebagiannya, kata dia, adalah imigran dari berbagai negara di Timur Tengah, seperti Iran, Irak, Mesir, dan lainnya. Ia menilai, pascaterpilihnya Trump memang muncul kekhawatiran dari berbagai komunitas Muslim di AS. "Ada rasa khawatir dan takut kalau terjadi vandalisme masjid, kalau ada kekerasan terhadap wanita berjilbab, dan lain-lain," ujar Ali kepada Republika.
Menurut dia, kecemasan tersebut cukup beralasan. Sebab, pada masa kampanye, Trump kerap menyuarakan pernyataan dan ide yang anti-Islam. Sebagian komunitas Muslim, termasuk PCI Muhammadiyah AS pun harus mengondisikan diri dan bergabung dalam aksi-aksi memprotes Trump. "Seperti (aksi) Women's March pada 21 Januari lalu, sehari setelah inaugurasi presiden (Trump) 20 Januari," kata Ali menerangkan.
Dalam gelombang aksi menentang kebijakan Trump, menurut Ali, memang tampak solidaritas yang kuat antara masyarakat dan komunitas di AS. "Sangat kuat solidaritasnya dan makin meluas, orang kulit putih, kulit hitam, cokelat, laki-laki, perempuan, bahkan kaum LGBT, juga Kristen, Yahudi, Buddha, Hindu, dan ateis," ujar dia.
Menurut dia, tujuan dari aksi-aksi protes tersebut, pada prinsipnya, adalah menolak kebijakan yang diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi AS. Khususnya First Amandement, yakni tentang kebebasan beragama. Ali mengajak umat Muslim, baik di AS dan di Indonesia, untuk terlibat aktif dan menyuarakan perjuangan hukum, penegakkan demokrasi dan hak asasi manusia, serta keadilan tanpa diskriminasi.