REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam retorika politik sekaligus janji kampanyenya itu, Presiden AS Donald Trump memang menyoroti soal keberadaan komunitas Muslim di Amerika Serikat. Salah satu pernyataan Trump yang menjadi kontroversi di kalangan Muslim AS adalah soal janjinya untuk menghentikan masuknya warga negara atau imigran dari negara Muslim ke AS.
Tidak hanya itu, pada saat itu, Trump juga berniat melakukan pendataan dan pengawasan terhadap Muslim-Muslim di AS. ''Saya menginginkan penghentian total Muslim masuk ke Amerika Serikat. Hingga pemerintah kami bisa benar-benar mengerti apa yang sebenarnya terjadi,'' kata Trump saat menemui ribuan pendukungnya di Charleston, Carolina Selatan, pada Desember 2015.
Kondisinya pun menjadi semakin buruk buat komunitas Muslim di AS, terutama saat Trump berhasil memenangkan Pemilihan Presiden AS dan dilantik secara resmi sebagai orang nomor satu di negara adidaya tersebut pada 20 Januari 2017 silam. Berselang delapan hari kemudian, Trump mengeluarkan kebijakan imigrasi baru. Lewat perintah eksekutif (executive order), Trump memerintahkan pembatasan masuknya warga negara dari tujuh negara yang memiliki penduduk mayoritas Muslim, seperti Irak, Iran, Sudan, Somalia, Yaman, Libia, dan Suriah.
Kebijakan Trump ini seolah kian menegaskan sikap anti-Muslim yang diterapkan di pemerintahannya. Bahkan, berselang beberapa jam pascapenandatanganan Trump pada Surat Perintah Eksekutif ini, sebuah masjid sekaligus Islamic Center di Victoria, Texas, terbakar, Sabtu (28/2) dini hari waktu setempat. Akibat kebakaran tersebut, seluruh bangunan Islamic Center dan ruang utama masjid rusak parah dan hampir tidak bisa digunakan kembali. Kerugian pun diperkirakan mencapai 500 ribu dolar AS.
Perintah eksekutif Trump soal pembatasan masuknya warga negara dan imigran dari negara mayoritas Muslim itu pun memiliki dampak secara langsung di bandara-bandara di seluruh Amerika Serikat. Banyak warga negara dari tujuh negara tersebut kesulitan saat harus melewati bagian imigrasi. Akibat dari surat perintah eksekutif tersebut, banyak orang yang akhirnya terancam tidak bertemu sanak familinya. Seperti yang terjadi di Bandara Dulles, Virginia.
Adalah Dr Mohsen Khosravi, seorang dokter dan peneliti di bidang diabetes. Dia tengah menunggu kedatangan dua orang sepupunya. ''Dua orang sepupu saya masih di sana. Meskipun mereka meliliki kartu hijau, tapi mereka tetap harus menunggu. Kami tidak tahu apa yang terjadi,'' kata Mohsen, yang merupakan warga AS keturunan Yaman tersebut.
Pun dengan yang menimpa Lena Albibi, warga AS yang berasal dari Suriah. Dia khawatir tidak bisa menemui keluarganya. ''Selain sebagai orang AS, saya juga orang Suriah. Saya tidak tahu, apakah keluarga saya bisa datang untuk mengunjungi saya. Hal ini benar-benar menghancurkan perasaan saya. Saya benar-benar tidak tahu harus berkata apa lagi,'' kata Lena seperti dikutip WGRZ.com.