REPUBLIKA.CO.ID, Asyiknya (Mendampingi) Raja Salman
Oleh Lukman Hakim Saifuddin
Menteri Agama RI
Siang itu, Mercedes Maybach S 600 Pullman Guard siap mengantar pemiliknya, Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud. Penampakan mobil sedan panjang berkelir hitam itu membuat mata jadi cerah.
Aroma khas Arab yang wanginya istimewa langsung menyergap begitu saya memasuki kabin mobil mewah itu. Aroma wangi merebak dari Raja Salman yang beberapa detik sebelumnya telah duduk bersandar di kursi penumpang sebelah kiri. Kesan pertama yang sungguh memesona.
Sebagai minister in attendance, menteri yang ditugasi mendampingi tamu negara, saya wajib mendampingi Raja Salman dalam acara resmi di Indonesia.
Perjalanan semobil dari Bandara Halim Perdanakusuma menuju Istana Bogor merupakan pengalaman pertama melaksanakan tugas itu.
Sejak keluar Bandara Halim Perdanakusuma, Raja tampak semringah menyaksikan masyarakat yang tumpah ruah menyambut kedatangannya.
Tak henti-henti beliau melambaikan tangan kanan sembari tersenyum dan mengucap kalimat syukur. Puluhan ribu massa menyemut berjejer sepanjang jalan mulai dari masuk Kota Bogor sampai depan pintu Istana.
Meskipun hujan makin deras mengguyur, masyarakat tak beranjak. Melihat situasi itu, Raja berujar, “Ini seperti ada demonstrasi.”
Saya lalu sampaikan bahwa masyarakat keluar menyambut Raja atas dasar kecintaan, bukan karena dikondisikan. Raja menimpali bahwa yang bisa dikondisikan oleh pemerintah untuk penyambutan semacam ini hanya pegawai-pegawai pemerintah, masyarakat tidak bisa.
Beliau lalu menegaskan, "Saya melihat ketulusan sambutan dari ekspresi wajah-wajah mereka yang begitu gembira."
Berulang kali Raja memuji Indonesia sebagai negara yang indah. Beliau terkagum-kagum melihat pepohonan yang rimbun berjajar di sepanjang jalan tol Jagorawi.
Muncul pertanyaannya, apakah kurma juga tumbuh di Indonesia. Saya jelaskan kalau kurma juga tumbuh di sini, meski tentu berbeda kualitasnya dengan yang ada di Saudi.
Raja lalu bercerita bahwa kesukaannya adalah menikmati buah kurma. Setiap pagi, termasuk ketika berada di Indonesia, sarapannya adalah beberapa butir kurma dan susu.
"Berapa butir kurma yang dinikmati Yang Mulia setiap pagi?" tanya saya menyelidik. "Tergantung keadaan perut saya sedang lapar atau tidak," jawabnya dengan bijak dibarengi senyum.
Raja juga berulang kali mengungkapkan kekagumannya terhadap orang Indonesia. Banyak pekerja, jamaah umrah dan haji, juga warganegara Saudi yang berasal dari Indonesia yang ramah dan santun.
Sosok yang membuatnya selalu teringat sejak puluhan tahun yang lalu adalah presiden Sukarno. Kenangannya yang tak terlupakan adalah saat presiden Sukarno selalu mengatakan “Saudara-saudara” dalam setiap pidatonya. Beliau mendengarnya saat Bung Karno berkunjung ke Riyadh.
Meski berkapasitas 6.000 cc bermesin bongsor, rasanya mobil hanya dipacu 60 km/jam menuju Bogor. Selain kami berdua, ada Dr Muchlis Hanafi yang duduk persis di depan saya, dan pengawal Raja serta pengemudi yang duduk di depan.
Dalam perjalanan Raja mendominasi pembicaraan. Tutur katanya halus, murah senyum, amat kebapakan dan mengayomi. Saya yang baru beberapa menit mengenalnya langsung merasa akrab. Kulit wajah dan tangannya bersih, kumis dan jenggotnya hitam tertata rapih.
Penampilannya cukup modis. Bila jubah berbahan tipis (misylah, bisht) yang dikenakan berwarna cokelat, sepatunya pun cokelat. Jika jubah krem, sepatu pun krem. Hanya jika jubah berwarna putih, sepatu beliau berwarna hitam. Sungguh necis.
Dari sepuluh jarinya, hanya kelingking kanan yang mengenakan cincin. Dilepaskan cincin itu, ditunjukkannya ke Muchlis dan saya sambil menjelaskan bahwa di masa ayahnya dan pendahulu ayahnya, cincin yang bertuliskan namanya itu berfungsi sebagai stempel tandatangan. Kini tradisi itu tak lagi lestari. Beliau mengenakan cincin itu untuk mengabadikan tradisi yang hilang.