REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan-kebijakan Donald Trump pada awal masa pemerintahan dianggap menyuburkan Islamophobia di kalangan masyarakat Amerika Serikat (AS). Sebagian kalangan menilai, kebijakan Trump memiliki tendensi dan kecenderungan anti-Muslim. Padahal, jika menilik sejarahnya, Muslim di AS mewarnai perjalanan sejarah negeri Paman Sam.
Sejumlah pakar sejarah menilai, Islam hadir di Amerika Serikat melalui Muslim yang mengikuti pelayaran para pelaut Spanyol dan Portugal. Pada saat itu, Muslim berperan sebagai navigator. Sebagian Muslim Morisco, kaum Muslim Spanyol yang melarikan dari tentara Kristen karena dipaksa masuk Kristen dalam peristiwa Reconquista, juga ikut melarikan diri menumpang para pelaut itu. Hal ini terjadi pada sekitar 1492.
Namun, ada pula pendapat pakar sejarah yang menyebut, perkembangan Islam di Amerika diperkirakan diawali pada Abad ke-16. Estevanico dari Azamor diketahui sebagai pemeluk Islam pertama yang tercatat dalam sejarah Amerika Utara. Kemudian, ada pula budak-budak dari Benua Afrika pada Abad ke-15 hingga pertengahan Abad ke-19 yang beragama Islam. Mereka ini yang dianggap sebagai cikal bakal kaum Muslim di Amerika Serikat.
Kendati begitu, Dr Hannas dalam sebuah jurnal ilmiah berjudul 'Sejarah Perkembangan Islam di Amerika Serikat' menyatakan, sejarah perkembangan Islam di Amerika Serikat dapat terbagi dalam lima gelombang. Gelombang pertama terjadi sekitar Abad ke-17 Perang Dunia I, yaitu sekitar 1875 hingga 1912. Pada gelombang ini, masuk imigran-imigran Muslim dari Libanon, Suriah, Yordania, dan Palestina. Mereka datang dengan pengharapan untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka di AS.
Setelah itu, pasca-Perang Dunia I, gelombang imigran Muslim datang ke AS, sekitar 1918 hingga 1922. Kemudian, gelombang ketiga pada 1930 hingga 1938, dan bertepatan dengan terjadinya Perang Dunia II. Pada saat itu, terjadi imigrasi besar-besaran imigran Muslim ke AS. Sedangkan, gelombang keempat pada 1947 hingga 1960. Di gelombang keempat, perpindahan imigran Muslim besar-besaran tidak terlepas dari kondisi dan penindasan politik di negara-negara asal mereka.
Pada masa ini, jumlah terbesar imigran Muslim adalah dari Palestina yang terusir dengan didirikannya negara Israel pada tahun 1948, kemudian orang Mesir yang merasa dirugikan oleh kebijakan Presiden Gamal Abdel Nasser, dan orang Islam Eropa Timur yang mencoba melarikan diri akibat Perang Dunia II dan pemerintahan komunis. Akhirnya, gelombang kelima terjadi pada 1967 hingga saat ini.
Berdasarkan paparan dari Ali Mukti dalam bukunya berjudul 'Muslim Bilali dan Muslim Muhajiri di Amerika Serikat', setidaknya ada tiga kelompok yang ada di dalam Umat Islam Amerika Serikat. Kelompok pertama, adalah orang-orang Amerika asli, dalam artian mereka sudah menetap lama di AS dan memeluk Islam. Kelompok kedua, adalah para mulsim imigran/Muhajir, yaitu mereka yang hijrah atau melakukan migrasi dari negara asalnya untuk menetap di AS. Kelompok ketiga adalah muslim kulit hitam, yang biasa disebut Muslim Bilali, Muslim hitam ini datang bersama-sama dengan kedatangan budak dari Afrika.
Perpindahan agama memang menjadi salah satu ciri pertumbuhan demografi Muslim di Amerika Serikat. Mayoritas yang berpindah agama merupakan orang-orang Afro-Amerika. Bahkan, tokoh-tokoh Black Muslims menjadi tokoh-tokoh yang begitu terkenal di dunia, seperti Malcolm X dan petinju legendaris, Muhammad Ali.
Bahkan, Black Muslims mampu menunjukkan eksistensinya dengan organisasi Nation of Islam (NOI). Di bawah kepemimpinan Elijah Muhammad, NOI menjadi salah satu organisasi kaum Muslim terpenting di AS, terutama pada dekade 1950an. Perjuangan utama NOI adalah untuk memberikan kesadaran politik, ekonomi, sosial terhadap Black Muslims. Namun, seiring perpecahan yang terjadi di NOI, organisasi ini pun perlahan meredup.
Babak baru umat Islam di Amerika Serikat terjadi saat terjadi serangan 11 September 2001 terhadap World Trade Center (WTC) dan Pentagon. Setelah serangan tersebut, berbagai tudingan dialamatkan kepada umat Islam di AS. Bahkan, berdasarkan data FBI, kasus kejahatan berdasarkan kebencian terhadap Muslim mencapai 480 serangan sepanjang setahun sejak 9/11. Serangan itu memang masih terbatas pada kelompok minoritas kecil.
Rata-rata kasus kejahatan kebencian tersebut antara lain adalah kekerasan verbal, ancaman, dan tindakan perusakan masjid atau Islamic Center. Dalam survey yang dilakukan pada 2007, sekitar 53 persen Muslim Amerika mengganggap lebih sulit hidup di AS pascaserangan 9/11. Namun, di balik berbagai kesulitan tersebut, Islam justru menjadi agama yang perkembangannya cukup pesat di Amerika Serikat.
Berdasarkan data dari lembaga riset, Pew Research Center (PWC), pada akhir 2015, jumlah Muslim di Amerika Serikat mencapai 3,3 juta orang dengan beragam usia. Angka ini membuat jumlah Muslim di AS mencapai satu persen dari total keseluruhan warga AS, yang mencapai 322 juta jiwa. Bahkan, sebelum 2040, PWC memperkirakan Islam akan menjadi agama kedua terbesar setelah Kristen.
Tidak hanya itu, pada 2050, populasi Muslim di AS diperkirakan akan naik dua kali lipat dan mencapai sekitar 8,1 juta orang atau 2,1 persen dari total penduduk AS. Laju pertumbuhan ini didasari oleh beberapa faktor. Berdasarkan laporan PWC, faktor-faktor tersebut antara lain imigrasi dan kelahiran. PWC mencatat dalam waktu 20 tahun terakhir, jumlah imigran Muslim mencapai 10 persen dari total imigran yang datang secara legal ke AS. Selain itu, dari faktor kelahiran, banyak Muslim Amerika memiliki kecenderungan untuk memiliki anak dari penganut agama lain.
Kendati demikian, komunitas Islam di AS kembali diuji dengan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS ke-45. Banyak kebijakan Trump yang dianggap anti-Muslim, seperti adanya perintah eksekutif soal pembatasan imigran dari tujuh negara mayoritas Muslim, seperti Irak, Iran, Sudan, Somalia, Yaman, Libia, dan Suriah.
Namun, pakar politik internasional dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dewi Fortuna Anwar menilai, kebijakan Trump tersebut tidak terlalu populer di masyarakat AS pada umumnya. Bahkan, cenderung ada penolakan dari warga AS secara keseluruhan. Hal ini terlihat saat adanya demontrasi yang terjadi di bandara-bandara di AS pascapenandatanganan eksekutif order.
''Eksekutif ordernya Trump itu sangat tidak populer di dalam negeri AS. Masyarakat Amerika sendiri juga menolak. Justru berbalik sekarang, masyarakat AS yang moderat justru simpati terhadap sebagian Muslim di AS. Jadi, jangan dianggap Amerika seperti ini, itu adalah Trump. Pada dasarnya, masyarakat Amerika sendiri tidak rasis seperti itu,'' kata Dewi, yang juga Anggota International Council of the Asia Society di AS, kepada Republika.