REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selain berbagai macam pembahasan di atas, masih banyak lagi yang dibahas dalam kitab karya Syekh Musthafa Muhammad Imarah ini. Setidaknya, ada sekitar 340 topik pembahasan yang semuanya bersumber dari hadis riwayat Imam Bukhari.
Di antaranya adalah pembahasan malu, larangan bergunjing, larangan menyekutukan Allah, dan sebagainya. Sementara itu, masalah shalat, haji, puasa, dan zakat juga dibahas secara terperinci oleh Syekh Musthafa Muhammad Imarah.
''Tidak seperti kitab lainnya, kitab yang dikarang oleh Syekh Musthafa Muhammad Imarah ini memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan kitab sejenis yang membahas kitab Imam Bukhari,'' tegas pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikmah Lasem (Rembang), Jateng, KH Ahmad Zaim Ma'soem, kepada Republika.
Salah satu kelebihan dan keistimewaannya adalah penjelasan dari kalimat-kalimat yang memerlukan keterangan secara lebih perinci, yaitu semacam catatan kaki (footnote).
''Bila sekarang ada ulama ataupun tokoh Islam yang menulis terjemahan Alquran berdasarkan makna per ayat (syamil quran). Beberapa abad silam, Syekh Musthafa Muhammad Imarah sudah lebih dahulu menerangkan makna hadis yang sulit dipahami,'' kata Gus Zaim, sapaan akrabnya.
Apalagi, papar ketua Rabithah Ma'ahidil Islamiyah (RMI/Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia Provinsi Jawa Tengah) ini, kitab ini merupakan intisari atau ringkasan dari hadis-hadis Bukhari.
''Syekh Musthafa Muhammad Imarah telah mengambil hadis-hadis sahih dari kitab Bukhari untuk kemudian diterangkan kepada umat sebagai upaya untuk mengajak umat mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara lebih baik,'' ujar Gus Zaim.
Hadis-hadis yang dikutip oleh Syekh Musthafa Imarah ini, jelasnya, sangat baik dijadikan amalan dalam kehidupan sehari-hari (fadha'ilul a'mal). Karena itulah, lanjut Gus Zaim, kitab ini sangat penting dipelajari bagi umat untuk meningkatkan amal ibadah sehari-hari.
Ditambahkannya, kitab ini hampir serupa dengan kitab Ibanatul Ahkam karya Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki Al-Hasani al-Makki, orang tua dari Sayyid Alawi al-Maliki.
Sebab, metodologi hadis yang disusun disesuaikan dengan standar pendidikan. Setiap kata yang masih samar diperjelas dengan keterangan yang detail berdasarkan rujukan yang ada.
Karena itu pula, di beberapa pesantren tradisional (salafiyah), kitab Jawahir al-Bukhari ini telah menjadi salah satu kitab wajib yang harus dipelajari di tingkat tsanawiyah, setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sementara itu, di beberapa pesantren khalaf (modern), kitab ini baru dipelajari di tingkat pelajar madrasah aliyah (setingkat SMA).