Jumat 03 Mar 2017 18:20 WIB

Berburu Ketenaran Bukan Tindakan Terpuji

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Popularitas adalah bagian dari ujian nikmat (Ilustrasi)
Foto: REPUBLIKA
Popularitas adalah bagian dari ujian nikmat (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Berburu ketenaran, bukan tindakan terpuji. Ini adalah bentuk mencari gemerlap dunia yang dikecam oleh agama.

Ini seperti yang ditegaskan di surah Thaha ayat ke-131. “Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya.”

Hadis riwayat Muslim, Nasai, dan Abu Dawud adalah sinyal tegas yang melarang seorang Muslim mengejar popularitas semata dalam hidupnya. Riwayat itu mengisahkan, ada tiga golongan yang tengah menjalani penghitungan di akhirat. Ketiga-tiganya bukan orang sembarangan, melainkan orang-orang yang berprestasi.

Yang pertama adalah mujahid yang mati syahid dalam peperangan. Kedua, orang alim yang belajar dan mengajarkan Alquran, sedangkan yang ketiga ialah hartawan yang menyedekahkan separuh hartanya. Ironisnya, justru amalan ketiga orang tersebut tertolak. Apa gerangan penyebabnya, tak lain ialah popularitas. Ketiganya pun akhirnya diputuskan sebagai penghuni neraka. Mereka beramal hanya untuk dibilang jago dan hebat.

Syekh Umar menegaskan, tenggelam memburu ketenaran bisa mengoyak akidah seseorang. Segala akti vitas yang ia lakukan, tak lagi bertujuan untuk menggapai ridha-Nya. Justru, kegiatan yang ia laksanakan malah dipergunakan sebagai kendaraan untuk naik daun. Jika ia menyadari perbuatannya itu, sudah pasti tidak akan lagi berambisi dengan popularitas. Ingin terkenal sejatinya akan menghilangkan nilai dari sebuah tindakan. “Tak ada satupun ulama yang aku kunjungi keculi melarang berburu popularitas,” ujar tokoh salaf terkemuka Sufyan as-Tsauri.

Seorang sufi tersohor Abu Hamzah al-Baghdadi pernah bertutur perihal tanda-tanda seorang sufi yang orisinil, yaitu ia yang berada dalam kemiskinan setelah bergelimang harta, hidup dalam kesederhanaan setelah jaya, dan menyepi usai dimanjakan ketenaran.

Dan ciri-ciri sufi palsu adalah lawan dari ketiga tanda di atas, yakni miskin lalu kaya, mulai setelah hina, dan terkenal setelah terkucil. Meski demikian, ancaman atas perburuan popularitas tak lantas menghalangi seseorang untuk berbuat bagi umat. Tetaplah beraktivitas dan beramal. “Tapi, ingat tetap jaga hati selalu hanya untuk-Nya,” tulis Syekh Umar mengingatkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement