REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di dalam Alquran dipaparkan mengenai fitrah manusia untuk berdoa kepada-Nya, meminta perlindungan-Nya, dan memohon ampunan-Nya. "Wahai manusia, kamulah yang butuh kepada Allah dan Allah, Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji." (QS Fathir: 15).
Ibnu Qayyim Al Jauziy menjelaskan, ayat ini menerangkan, kefakiran (kebutuhan) para hamba kepada Nya adalah sesuatu yang bersifat esensi dan intrinsik bagi mereka. Status fakir menjadi bagian inti dari diri mereka yang sama sekali tidak bisa terlepas dari diri mereka.
Sebagaimana Allah SWT Maha Kaya dan Maha Terpuji juga hal yang bersifat intrinsik bagi Dzat-Nya. Sifat Maha Allah yang kaya dan terpuji adalah sebuah keniscayaan yang tertetapkan untuk-Nya. Sudah menjadi sifat intrinsik Dzat-Nya bukan sesuatu yang bersifat ekstrinsik karena adanya faktor eksternal.
Kefakiran kepada Allah SWT tidak lain adalah kekayaan dan kecukupan atas apa yang diberikan-Nya. Karena itu, orang yang paling fakir kepada Allah SWT sejatinya orang paling kaya dan cukup dengan-Nya. Orang paling merendahkan diri kepada-Nya sejatinya orang paling mulia. Orang paling lemah di hadapan-Nya, sejatinya orang paling kuat. Orang merasa paling bodoh sejatinya orang yang paling mengetahui diri-Nya. Kekayaan dan kecukupan berbanding lurus dengan kefakiran kepada Nya. Ini dua hal yang inheren dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lain. Keduanya bersifat simetris.
Ibnu Qayyim menyebut kekayaan sebagai al Ghina. Ulama besar ini mengartikan Al Ghina merupakan kekayaan dalam arti hakiki. Kekayaan ini tidak lain adalah kepunyaan Allah SWT. Rabb Yang Maha Kaya dan tidak ada sedikit pun butuh kepada segala sesuatu selain-Nya. Segala sesuatu selain Allah pasti tersemat label fakir, sebagaimana memiliki predikat makhluk ciptaan.
Kekayaan pun bisa dinikmati makhluk. Orang kaya disebut sebagai orang yang bisa memiliki apa pun kebutuhan dan hajatnya. Di dalam diri manusia, ada perasaan butuh akan sesuatu yang sangat besar. Hasrat ini tidak bisa ditutupi. Seorang hamba yang berhasil mendapatkan Dzat Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji akan mendapatkan segalanya. Jika tidak, dia bisa jadi akan mendapatkan segalanya, tetapi kehilangan-Nya. Seperti apa yang dialami Profesor Paul Ehrenfest.
Shaikh Ibnu Qayyim pun membagi Al Ghina untuk makhluk menjadi dua. Al Ghina yang remeh dan Al Ghina yang tinggi. Al Ghina yang rendah disebut sebagai Al Ghina as-Safil. Al Ghina ini diartikan sebagai bentuk kaya dengan hal-hal pinjaman. Semua itu pun harus dikembalikan kepada Sang Pemilik. Orang dengan Al Ghina As-Safil dipinjami istri atau suami, perempuan, harta yang banyak dengan berbagai jenisnya, kendaraan, dan sebagainya.
Al Ghina yang mulia dan tinggi disebut dengan Al Ghina Ali. Mengutip pendapat Ibnu Taimiyyah dalam kitab Manazli As Sa'irin, Ibnu Qayyim menjelaskan, Al Ghina Ali memiliki tiga jenis tingkatan. Pertama, kekayaan hati, yakni hati bersih dari sebab, menerima dan pasrah kepada ketentuan serta terbebas dari perseteruan. Kedua, kekayaan jiwa. Artinya, keistiqamahan jiwa di atas al Marghub (sesuatu yang disenangi Allah), keselamatan jiwa dari al Maskhuth (sesuatu yang dibenci Allah) dan keterbebasan jiwa dari riya.
Tingkatan terakhir adalah al Ghina atau kekayaan dan kecukupan dengan al-Haqq. Al Haqq pun dibagi kembali menjadi tiga tingkatan. Pertama, menyadari bahwa Allah SWT mengingat kamu. Kedua, memandang keawalan-Nya sehingga mampu menyadari bahwa segala sesuatu selain Allah tidak lain ada karena-Nya. Ketiga, keberuntungan menggapai wujud-Nya. Ibnu Qayyim menyebut tingkatan ini merupakan peringkat tertinggi kekayaan manusia ketimbang derajat pertama dan kedua.
Pada Al Ghina Ali sebelumnya, derajat kekayaannya masih berupa bekas dan efek dari zikir mengingat Allah SWT dan konsentrasi menghadap kepada Nya. Dari situ, hati mendapat limpahan nur atau cahaya sifat-sifat suci. Hati pun menjadi kaya dan berkecukupan dengannya. Ini adalah bentuk kefakiran sekaligus kekayaan hakiki. Saat Allah SWT menjadi ambisi terbesar seorang hamba.
Hamba-hamba yang 'kaya' mendapat qiyas istimewa di dalam Alquran. "Seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya." (QS Ibrahim: 24-25).
Ibnu Qayyim menganalogikan pohon ini sebagai pohon keimanan. Akarnya menancap kokoh ke dalam hati sedangkan cabang-cabangnya, yaitu perkataan yang baik dan amal shaleh menjulang tinggi ke langit. Pohon ini akan terus mengeluarkan buahnya setiap saat dengan izin Tuhannya. Buah keimanan akan menyenangkan mata dan hati pemiliknya, para perawatnya, keluarganya, teman-temannya, dan orang-orang yang dekat kepadanya. Wallahu'alam